Sejak awal nikah, Mama Niken
menderita batuk. Memang tidak kentara batuknya. Hanya dehem-dehem kecil
kadangkala. Aku pikir ia sedang menyesuaikan dengan udara NFBS yang lembap.
Ternyata, menurutnya ia sudah batuk sebelum menikah. Tepatnya sejak masih
bekerja di Cikampek. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah dua bulan menderita.
Sebelum menikah, Mama Niken sudah berusaha menyembuhkan batuknya dengan berobat
ke beberapa dokter di kotanya. Tetapi hasilnya nihil.
Begitu tiba di NF, batuknya makin
menjadi. Kita sudah berobat ke klinik dan klinik memberikan obat batuk, namun
tidak juga sembuh. Selain itu, setiap menjelang sore Mama Niken merasa
kupingnya selalu berdengung. Ia seakan tidak mendengar azan. Bahkan, kami
sempat berpikir untuk meruqyah. Siapa tahu itu karena perbuatan jin. –soalnya,
saat itu masih sering terjadi kerasukan di NFBS-.
Kondisi lain yang menyertai usaha
adatasinya adalah, mama Niken selalu merasa kepanasan ketika malam menjelang
dan sampai pagi, keluar keringat sejagung-jagung yang bahkan sampai membuat
kasur dan bantal yang digunakannya benar-benar kuyup. Kami makin berpikiran
bahwa ini benar-benar akibat jin.
Mama Niken juga tidak doyan makan,
kebetulan, kami beranggapan bahwa tidak doyan makannya karena memang mama Niken
pada dasarnya memang pemilih dalam soal makanan. Jadi memang butuh penyesuaian
antara lidahnya dengan masakan dari dapur NFBS. Kami tidak menaruh curiga
apa-apa.
Namun yang membuat ayah Hroen
bangga, dia tidak menunjukkan hal itu pada orang lain. Ia masih dengan setia
mau diajak untuk silaturahim ke rumah-rumah guru di NF. Bahkan masih mau
menemaniku bekerja di perpustakaan –yang saat itu memang masih butuh perhatian
lebih-. Dan semua itu, karena ketiadaan kendaraan, kami berjalan kaki pergi
pulang.
Selama hampir dua bulan, tidak ada
perkembangan berarti dari segi kesehatan. Mama Niken makin kurus. Wajahnya
tirus dan tak bercahaya. Beratnya bahkan makin menurun. Setelah beraktivitas
napasnya selalu tersengal-sengal, rasa sakit di dadanya membuat dia selalu ngos-ngosan,
Kami putus asa. Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba berobat ke Jakarta.
Melewati perjalanan panjang dan
melelahkan bagi mama Niken, kami akhirnya sampai di Jakarta. Di rumah orang tua
Ayah Harun. Begitu sampai, tak menunggu lama kami langsung ke Klinik Mugi
Sehat. Di dekat Pintu II Taman Mini Indonesia Indah. Di sana kami bertemu
dokter yang sabar mendengarkan keluh kesah kami. Tentang penyakit yang tidak
sembuh-sembuh ini.
Beliau lalu menyarankan untuk
me-rontgen mama Niken. Tak lupa memberikan obat batuk yang mungkin dapat
mengurangi rasa nyeri. Tidak ada nama penyakit yang disebutkan olehnya, tapi
kami merasa di tahu sesuatu.
Esoknya, hari Sabtu. Ayah Hroen,
mama Niken, dan salah seorang adik Ayah Hroen, Lilie Arina Murtie menuju Rumah
Sakit Pasar Rebo di Jakarta Timur. Mencoba untuk rontgen. Hari Sabtu, Rumah
sakit tutup. Jadi kami tidak ke Klinik Penyakit Dalam melainkan langsung ke UGD
karena ada dokter jaga di sana.
Kami bergegas berkomunikasi dengan
dokter di sana. Dokter langsung menyarankan untuk rontgen. Melihat kondisi mama
Niken yang lemah, dokter memerintah perawat di sana untuk membawa mama Niken
menggunakan kursi roda menuju ruang Radiologi di lantai satu rumah sakit Pasar
Rebo. Saking tidak kuatnya, mama Niken harus dirontgen dalam keadaan tiduran.
Usai di rontgen, kami kembali ke
UGD. Sambil membawa hasil rontgen yang jadi dalam waktu singkat.
Sampai UGD, mama Niken ditempatkan
di tempat tidur sudut. Perawatnya menyerahkan hasil rontgen yang belum sempat
kami lihat sebelumnya. Dokter memanggil… “Keluarga Ny. Ni Wijayanti”. Aku
segera menuju meja dokter jaga.
Foto Rontgen ditempatkan pada papan
lampu di belakang sang dokter jaga. TERKEJUT, aku melihat bentuk paru-paru yang
aneh. Tidak simetris bahkan cenderung menghilang. Paru-paru kanan terlihat
hampir sempurna. Sedangkan paru-paru kiri hanya terlihat bagian atasnya saja.
Bagian bawahnya putih saja, ditembus lampu neon dari papan lampu di baliknya.
Dari jauh, mama Niken dan Lilie yang juga melihat hasil
rontgen itu, TERKEJUT. Bahkan Lilie sempat berujar “Kok paru-parunya kerendam
air begitu Mbak Ni”.
Mama Ni ikut shock.
Aku terbelalak. Dokter ikut kaget,
Ia menjelaskan secara detil perbedaan paru-paru sehat dengan paru-paru
mama.
“Ini sudah parah Pak.”
“Harus di opname.”
“Mudah-mudahan belum terlambat.”
Aku kembali pada Mama Niken.
“ Apa kata dokter, Yah?”
Aku menceritakan semuanya.
Belum sempat memutuskan. Kami
kebingungan dengan kondisi keuangan. Saat itu kami hanya membawa uang
Rp100.000,00 . Karena kami pikir tidak sampai harus opname. Kami bahkan tidak
tahu berapa DP untuk kelas terendah di RS. Pasar Rebo. Lilie berinisiatif untuk
menuju ruang administrasi dan menanyakan berapa uang awal yang harus disediakan.
Kami serahkan uang 100 ribu itu.
Agak lama kami menunggu Lilie di
pojok ruang UGD itu. Banyak kejadian yang kami saksikan di sana. Karena memang,
UDG saat itu terlihat sangat sibuk:
1. Seorang bapak tua yang tertabrak mobil dan diantar oleh dua
orang polisi dan penabraknya. Tidak ada alamat yang menyertai Bapak tua
tersebut. Polisi kesulitan mengetahui alamatnya karena Bapak tua itu terlihat
sudah pikun.
2. Seorang ibu yang panik, masuk ke ruang UGD sembari
menggendong anaknya dan berteriak-teriak, “Tolong, anak saya menelan kamper.”
3. Tepat di hadapan kami, seseorang yang sedang didoakan
oleh keluarganya dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Mereka menangis
tersedu-sedu. Aku pikir, mungkin orang yang didoakan itu sedang sakaratul maut.
Lilie kembali, membawa kabar bahwa
dia sudah memesan kamar kelas 3 dengan DP Rp200.000,- ia meminjamkan kami
uangnya. Setelah menyelesaikan administrasi di UGD kami diajak oleh perawatnya
ke bangsal yang akan ditempati. Letaknya di lantai 3. Ruang Melati III. Bangsal
wanita ruang khusus penyakit dalam.
Saat itu sekitar pukul 15.00. Lilie
pulang untuk menyiapkan segala sesuatunya, perlengkapan opname. Karena kami
sama sekali tidak membawa baju ganti, alat mandi, alat makan, dsb. Mama Niken
terus menangis membayangkan penyakitnya yang mengerikan.
Mama Niken dirawat di Pasar Rebo
selama lima hari. Selama itu, banyak tindakan yang dilakukan oleh dokter dan
perawat. Karena ketika masuk ke RS, Mama Niken juga sakit tifus, jadi
pengobatan sekalian dengan tifusnya. Mama Niken harus minum banyak jenis obat.
Menurut dokter kunjungnya, akan dilakukan penyedotan pada cairan yang ada di
paru mama Niken, untuk mengurangi secara cepat. Baru nanti kemudian dilanjutkan
dengan minum obat. Selama dirawat itu juga aku mengetahui bahwa aku menderita
TBC ekstra (Eufusi Pleura).
Hari
Senin. Dokter kunjung datang kembali. Namanya dokter Syafrizal, beliau
menyarankan untuk disedot hari ini, tetapi mama Niken belum berkenan, karena ia
merasa belum cukup kekuatan batin untuk menjalani proses penyedotan. Dokter
Syafrizal paham. Beliau menunda proses penyedotan esok hari dan meminta mama
untuk menyiapkan diri.
Hari
Selasa. Mama sudah siap, mengenakan baju berkancing bukan kaos, karena dokter
menyarankan demikian untuk mempermudah penyedotan. Dokter datang bersama
perawat, mengajak mama Niken menuju ruang tindakan. Ayah Harun mengikuti dari
belakang dan tidak diperkenankan masuk.
Dari
luar, ayah Harun melihat mama Niken duduk di atas tempat tidur pasien. Terlihat
kesibukan dokter dan perawat. Selanjutnya, tinggal mama niken yang tertunduk
sendirian.
Setelah di dalam, mama Niken duduk di atas tempat tidur,
perawat meminta mama Niken untuk membuka bajunya dan menutupkan bagian dadanya
dengan bajunya. Kini bagian punggung mama niken terbuka.
Perawat lalu memborehkan sejenis cairan berwarna merah ke
punggung, -tempat yang akan dilakukan pelubangan- “mungkin itu obat untuk
membius lokal,” pikirnya.
Tak lama kemudian, dokter Syafirzal membuat lubang kecil
dengan jarum suntik sepanjang kira-kira enam sentimeter untuk memasukkan selang
tembus ke paru-paru.
Setelah lubang terbentuk, dr. Syafrizal memasukkan selang
menembus kulit mama Niken dan tembus ke paru-paru. Proses penyedotan cairan
dimulai.
Sedikit demi sedikit, mengalir dengan lancar, cairan
berwarna kuning kental seperti minyak goreng curah mengalir keluar. Memenuhi
botol Aqua 1 liter yang memang digunakan untuk menampung cairan tersebut.
Penyedotan selesai.
Mama Niken kembali ke bangsal.
Dokter
Syafrizal datang dan menjelaskan kalau berhasil mengambil 600 ml cairan dari
paru-paru. Beliau juga menjelaskan kalau cairan yang keluar berwarna kuning
pekat seperti minyak goreng curah, syukurnya, itu berarti bahwa tidak terjadi
infeksi lain. Kriterianya lainnya adalah, jika bercampur dengan darah atau
berwarna kuning kehitaman, berarti terjadi infeksi berat di sana. Kami
ternganga dan bersyukur mendengar penjelasan beliau.
Di
ruang perawatan, mama Niken bercerita pada ayah Harun, bahwa ketika penyedotan
berlansung napasnya terasa sangat sesak. Lalu perawat memberikan tabung oksigen
untuk membantu bernapas.
Selama
perawatan mama Niken, ayah Harun memutuskan untuk izin mengajar. Setiap hari
meng-SMS soal ke salah satu guru di NF untuk diberikan pada anak didikku di
Cinangka. Selama itu pula ayah Harun selalu menemani mama Niken selama 24 jam.
Tidur di ubin di bawah kasur yang digunakan mama Niken. Makan selalu membeli
dari warung-warung yang ada di sekitar rumah sakit. Setiap pagi dan sore
mengantri air panas untuk mandi mama niken. Yang hanya sibin. Mandi pun
aku menumpang pada kamar mandi pasien.
Beberapa
kali kami kedatangan tamu yang menjenguk, tetangga TMII, Bapak dan Emak dari
ayah Harun, termasuk Ibu dari Boyolali yang memaksa untuk menengok anak
bungsunya di Rumah Sakit. Namun, ketika ibu meminta untuk ikut menginap, kami
tidak mengizinkan, karena kondisi bangsal kami yang sebagian besar adalah
pasien penyakit menular.
Banyak
peristiwa yang kami saksikan selama 5 hari di bangsal melati.
Suatu
hari seorang wanita muda berusia sekitar 23-an dirawat dengan diantar suami dan
keluarganya, sekitar 6 orang. Wanita itu terus berteriak-teriak, tubuhnya
berwarna coklat kekuningan, jari tangan dan kaki, dan matanya berwarna kuning.
Setiap berteriak, dia seperti orang tidak sadar. Memberontak dan memaksa untuk
tidur di lantai, dalam raungannya dia selalu berkata “Panas! Panas!” dia sampai
mau membuka baju yang dikenakannya. Keenam keluarganya memegangi tangan, kaki,
dan kepalanya. Bahkan tak lama berselang, datang seorang paranormal yang
berusaha untuk menenangkan wanita tersebut. Pakai acara disembur air segala.
Keluarganya berkata, ini pasti ada yang ‘ngerjain’.
Akhirnya
suster berhasil menenangkannya setelah bekerja keras memberikan obat penenang.
Sebenarnya
wanita itu memiliki penyakit yang sama dengan mama Niken. TBC. Menurut dokter,
efek dari obat TBC –yang notabene adalah obat keras dan harus diminum dalam
jangka waktu lama- adalah menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit
lever. Mama Niken sangat ketakutan, dia membayangkan akan juga menderita
seperti itu. Semalaman ia tidak bisa tidur.
Malam,
tepat setelah kejadian siang tadi, dimana wanita muda kekuningan itu datang,
seorang pasien yang ada tepat di depan dipan tempat mama Niken meninggal dunia.
Karena kasurnya berhadap-hadapan, sebelum meninggal, mama Niken kerap beradu
pandang dengan pasien tersebut. Tatapannya yang tajam dan kosong menjelejahai
ruang tanya di benak mama Niken.
Seorang
wanita yang sangat kurus. Tubuhnya bagaikan tulang yang dibalut kulit dengan
sedikit. Rambutnya yang pendek membuat dia semakin menyeramkan. Bahkan mama
niken sempat bertanya pada ayah Harun, “dia laki-laki atau perempuan sih?”
Dari
informasi keluarganya, mbak (kami lupa namanya, dulu sempat tahu, karena memang
namanya terpampang di dipannya) tersebut sakit TBC. Namun, dia tidak kontrol
secara rutin. Kami juga tahu, bahwa ia belum menikah dan berprofesi sebagai
guru.
Malam
itu, ayah Harun tertidur karena capai. Mama Niken menyaksikan semuanya.
Keluarga
dari mbak tadi memanggil-manggil namanya. Mereka beristighfar, sayup-sayup
kalimat ‘Innalillahi wa innailaihi rojiun’ terdengar dari dipan depan
kami.
Mama
Niken membangunkan ayah Harun
Salah
seorang keluarga, keluar memanggil perawat. Perawat datang. Tak lama dokter
jaga masuk. Mereka membawa hijab yang biasa digunakan pasien jika ingin mandi
kucing di kasurnya. Hijab itu membuat kami tidak dapat melihat apa pun yang
terjadi dibaliknya.
Sekian
menit berlalu. Hijab dibuka. Kami melihat kain putih telah menutupi wajah mbak
tadi. Lirih kami juga mengucapkan innalillah. Kesibukan terjadi lagi. Malam itu
juga, jenazah dipindahkan.
Mama
Niken makin tak bisa tidur.
Setelah lima hari dalam perawatan, akhirnya dokter memutuskan mama Niken dapat
pulang. Kerinduan dengan dunia luar telah bergemuruh di dada kami.
Dokter memutuskan untuk dilakukan
kontrol seminggu sekali, kami putuskan hari Sabtu, karena Sabtu, karena Ayah
Harun libur.
Lewat pemikiran panjang dan
pertimbangan, kami memutuskan, mama Niken untuk sementara tidak kembali ke
NFBS. Antara lain alasan yang terungkap adalah, karena kondisi NFBS yang hutan
sehingga mungkin saja udaranya lembap dan tidak cocok untuk penyembuhan. Juga
karena stigma bahwa penyakit TBC adalah penyakit menular membuat kami juga
khawatir menjadi sumber penularan.
Kami putuskan, setelah meminta izin
dari banyak pihak, mama Niken harus tinggal di Cikampek. Mengapa tidak di
Jakarta. Di rumah mertua, mama Niken keberatan; di rumah kakaknya yang di
daerah Cililitan tidak mungkin karena ada bayi di sana. Tinggal di Jawa? Mama
Niken harus control ke pasar rebo seminggu sekali. Pilihan terakhir adalah di
Cikampek, tempat kakaknya –mas Dar dan istrinya Mbak Rini- karena belum
mempunyai momongan.
Ayah Harun? Kembali ke NF, karena
tugas mengajar menunggu
Selama sekitar tiga bulan, kami
hidup berjauhan. Dua minggu sekali, kami bertemu di Pasar Rebo dan menginap di
rumah orang tua Ayah Harun. Di TMII. Jadi, ada waktu dimana mama Niken harus
berangkat dari Cikampek ke Pasar Rebo, sendirian. Dengan kondisinya yang lemah.
Naik bus dan angkot.
Sabtu berangkat, kadang Jumat malam.
Senin kembali lagi ke NF. Itulah ritual perjalanan yang dilaku oleh ayah Harun
setiap harus ke Jakarta.
Kami bersyukur, tuhan tidak
memberikan kami momongan saat itu. Karena ternyata dokter melarang mama Niken
untuk hamil sebelum tuntas pengobatan atau sebelum mendapat rekomendasi dari
dokter. Karena hal itu dapat menyebabkan janin tertular dan lahir dalam keadaan
tidak normal.
Kami ikhlas.
Jauh dari sang Suami, mama Niken
selalu dalam kesendirian dan kesepian. Setiap pagi, mas Dar dan istrinya selalu
berangkat kerja dan kembali sore hari. Di rumah hanya ada pramuwisma yang setia
terhadap mas Dar –karena bekerja sejak mas Dar belum menikah-. Jika kekosongan
melanda hati dan pikiran. Bayangan mama Niken menampilkan kisah-kisah
mengerikan. Ia membayangkan bahwa usianya tak akan lama lagi.
Ia teringat dengan kejadian-kejadian
selama di rumah sakit.
Ia juga merasa miris dengan ayah
Niken yang harus ditinggalkannya di NFBS.
NAMUN ITU TIDAK BOLEH BERLANGSUNG
LAMA
AKU HARUS BANGKIT!
Mama Niken sadar, dia harus bangkit,
dia harus sembuh, dia bertekad apa pun yang disarankan dokter akan dilakukan.
Dia harus banyak makan. Dia harus rutin berobat. Dia harus berolah raga. Dia
harus hidup.
Waktu pertama kontrol aku bertemu seorang mahasiswi yang sangat kurus dia di
antar oleh ibunya, penyakit TBC yang dideritanya sudah 3 tahunan tapi tidak
kunjung sembuh. Saat itu, pikiran mama Niken kembali gak karuan,
Saat itu, di ruang tunggu pasien
yang akan kontrol, terlihat pasien yang sudah parah dengan jumlahnya mencapai
ratusan. Tak kunjung selesai antrean.
“ Ya Allah berilah aku kesembuhan,”
Mama Niken menangis dalam hati, ia sempat bertanya apakah aku dapat sembuh ya
Allah?
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberi masukan