Kamis, 13 Desember 2012

Aku Harus Hidup



Sejak awal nikah, Mama Niken menderita batuk. Memang tidak kentara batuknya. Hanya dehem-dehem kecil kadangkala. Aku pikir ia sedang menyesuaikan dengan udara NFBS yang lembap. Ternyata, menurutnya ia sudah batuk sebelum menikah. Tepatnya sejak masih bekerja di Cikampek. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah dua bulan menderita. Sebelum menikah, Mama Niken sudah berusaha menyembuhkan batuknya dengan berobat ke beberapa dokter di kotanya. Tetapi hasilnya nihil.

Begitu tiba di NF, batuknya makin menjadi. Kita sudah berobat ke klinik dan klinik memberikan obat batuk, namun tidak juga sembuh. Selain itu, setiap menjelang sore Mama Niken merasa kupingnya selalu berdengung. Ia seakan tidak mendengar azan. Bahkan, kami sempat berpikir untuk meruqyah. Siapa tahu itu karena perbuatan jin. –soalnya, saat itu masih sering terjadi kerasukan di NFBS-.

Kondisi lain yang menyertai usaha adatasinya adalah, mama Niken selalu merasa kepanasan ketika malam menjelang dan sampai pagi, keluar keringat sejagung-jagung yang bahkan sampai membuat kasur dan bantal yang digunakannya benar-benar kuyup. Kami makin berpikiran bahwa ini benar-benar akibat jin.

Mama Niken juga tidak doyan makan, kebetulan, kami beranggapan bahwa tidak doyan makannya karena memang mama Niken pada dasarnya memang pemilih dalam soal makanan. Jadi memang butuh penyesuaian antara lidahnya dengan masakan dari dapur NFBS. Kami tidak menaruh curiga apa-apa.

Namun yang membuat ayah Hroen bangga, dia tidak menunjukkan hal itu pada orang lain. Ia masih dengan setia mau diajak untuk silaturahim ke rumah-rumah guru di NF. Bahkan masih mau menemaniku bekerja di perpustakaan –yang saat itu memang masih butuh perhatian lebih-. Dan semua itu, karena ketiadaan kendaraan, kami berjalan kaki pergi pulang.

Selama hampir dua bulan, tidak ada perkembangan berarti dari segi kesehatan. Mama Niken makin kurus. Wajahnya tirus dan tak bercahaya. Beratnya bahkan makin menurun. Setelah beraktivitas napasnya selalu tersengal-sengal, rasa sakit di dadanya membuat dia selalu ngos-ngosan, Kami putus asa. Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba berobat ke Jakarta.

Melewati perjalanan panjang dan melelahkan bagi mama Niken, kami akhirnya sampai di Jakarta. Di rumah orang tua Ayah Harun. Begitu sampai, tak menunggu lama kami langsung ke Klinik Mugi Sehat. Di dekat Pintu II Taman Mini Indonesia Indah. Di sana kami bertemu dokter yang sabar mendengarkan keluh kesah kami. Tentang penyakit yang tidak sembuh-sembuh ini.

Beliau lalu menyarankan untuk me-rontgen mama Niken. Tak lupa memberikan obat batuk yang mungkin dapat mengurangi rasa nyeri. Tidak ada nama penyakit yang disebutkan olehnya, tapi kami merasa di tahu sesuatu.
Esoknya, hari Sabtu. Ayah Hroen, mama Niken, dan salah seorang adik Ayah Hroen, Lilie Arina Murtie menuju Rumah Sakit Pasar Rebo di Jakarta Timur. Mencoba untuk rontgen. Hari Sabtu, Rumah sakit tutup. Jadi kami tidak ke Klinik Penyakit Dalam melainkan langsung ke UGD karena ada dokter jaga di sana.

Kami bergegas berkomunikasi dengan dokter di sana. Dokter langsung menyarankan untuk rontgen. Melihat kondisi mama Niken yang lemah, dokter memerintah perawat di sana untuk membawa mama Niken menggunakan kursi roda menuju ruang Radiologi di lantai satu rumah sakit Pasar Rebo. Saking tidak kuatnya, mama Niken harus dirontgen dalam keadaan tiduran.

Usai di rontgen, kami kembali ke UGD. Sambil membawa hasil rontgen yang jadi dalam waktu singkat.
Sampai UGD, mama Niken ditempatkan di tempat tidur sudut. Perawatnya menyerahkan hasil rontgen yang belum sempat kami lihat sebelumnya. Dokter memanggil… “Keluarga Ny. Ni Wijayanti”. Aku  segera menuju meja dokter jaga.

Foto Rontgen ditempatkan pada papan lampu di belakang sang dokter jaga. TERKEJUT, aku melihat bentuk paru-paru yang aneh. Tidak simetris bahkan cenderung menghilang. Paru-paru kanan terlihat hampir sempurna. Sedangkan paru-paru kiri hanya terlihat bagian atasnya saja. Bagian bawahnya putih saja, ditembus lampu neon dari papan lampu di baliknya.

Dari jauh, mama Niken dan Lilie yang juga melihat hasil rontgen itu, TERKEJUT. Bahkan Lilie sempat berujar “Kok paru-parunya kerendam air begitu Mbak Ni”.
Mama Ni ikut shock.

Aku terbelalak. Dokter ikut kaget, Ia menjelaskan secara detil perbedaan paru-paru sehat dengan paru-paru mama. 
“Ini sudah parah Pak.”  
“Harus di opname.”
“Mudah-mudahan belum terlambat.”
Aku kembali pada Mama Niken.
“ Apa kata dokter, Yah?”
Aku menceritakan semuanya.

Belum sempat memutuskan. Kami kebingungan dengan kondisi keuangan. Saat itu kami hanya membawa uang Rp100.000,00 . Karena kami pikir tidak sampai harus opname. Kami bahkan tidak tahu berapa DP untuk kelas terendah di RS. Pasar Rebo. Lilie berinisiatif untuk menuju ruang administrasi dan menanyakan berapa uang awal yang harus disediakan. Kami serahkan uang 100 ribu itu.

Agak lama kami menunggu Lilie di pojok ruang UGD itu. Banyak kejadian yang kami saksikan di sana. Karena memang, UDG saat itu terlihat sangat sibuk:
1.       Seorang bapak tua yang tertabrak mobil dan diantar oleh dua orang polisi dan penabraknya. Tidak ada alamat yang menyertai Bapak tua tersebut. Polisi kesulitan mengetahui alamatnya karena Bapak tua itu terlihat sudah pikun.
2.       Seorang ibu yang panik, masuk ke ruang UGD sembari menggendong anaknya dan berteriak-teriak, “Tolong, anak saya menelan kamper.”
3.        Tepat di hadapan kami, seseorang yang sedang didoakan oleh keluarganya dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Mereka menangis tersedu-sedu. Aku pikir, mungkin orang yang didoakan itu sedang sakaratul maut.

Lilie kembali, membawa kabar bahwa dia sudah memesan kamar kelas 3 dengan DP Rp200.000,- ia meminjamkan kami uangnya. Setelah menyelesaikan administrasi di UGD kami diajak oleh perawatnya ke bangsal yang akan ditempati. Letaknya di lantai 3. Ruang Melati III. Bangsal wanita ruang khusus penyakit dalam.

Saat itu sekitar pukul 15.00. Lilie pulang untuk menyiapkan segala sesuatunya, perlengkapan opname. Karena kami sama sekali tidak membawa baju ganti, alat mandi, alat makan, dsb. Mama Niken terus menangis membayangkan penyakitnya yang mengerikan.

Mama Niken dirawat di Pasar Rebo selama lima hari. Selama itu, banyak tindakan yang dilakukan oleh dokter dan perawat. Karena ketika masuk ke RS, Mama Niken juga sakit tifus, jadi pengobatan sekalian dengan tifusnya. Mama Niken harus minum banyak jenis obat. Menurut dokter kunjungnya, akan dilakukan penyedotan pada cairan yang ada di paru mama Niken, untuk mengurangi secara cepat. Baru nanti kemudian dilanjutkan dengan minum obat. Selama dirawat itu juga aku mengetahui bahwa aku menderita TBC ekstra (Eufusi Pleura).

Hari Senin. Dokter kunjung datang kembali. Namanya dokter Syafrizal, beliau menyarankan untuk disedot hari ini, tetapi mama Niken belum berkenan, karena ia merasa belum cukup kekuatan batin untuk menjalani proses penyedotan. Dokter Syafrizal paham. Beliau menunda proses penyedotan esok hari dan meminta mama untuk menyiapkan diri.

Hari Selasa. Mama sudah siap, mengenakan baju berkancing bukan kaos, karena dokter menyarankan demikian untuk mempermudah penyedotan. Dokter datang bersama perawat, mengajak mama Niken menuju ruang tindakan. Ayah Harun mengikuti dari belakang dan tidak diperkenankan masuk.
Dari luar, ayah Harun melihat mama Niken duduk di atas tempat tidur pasien. Terlihat kesibukan dokter dan perawat. Selanjutnya, tinggal mama niken yang tertunduk sendirian.

Setelah di dalam, mama Niken duduk di atas tempat tidur, perawat meminta mama Niken untuk membuka bajunya dan menutupkan bagian dadanya dengan bajunya. Kini bagian punggung mama niken terbuka.
Perawat lalu memborehkan sejenis cairan berwarna merah ke punggung, -tempat yang akan dilakukan pelubangan- “mungkin itu obat untuk membius lokal,” pikirnya.
Tak lama kemudian, dokter Syafirzal membuat lubang kecil dengan jarum suntik sepanjang kira-kira enam sentimeter untuk memasukkan selang tembus ke paru-paru.
Setelah lubang terbentuk, dr. Syafrizal memasukkan selang menembus kulit mama Niken dan tembus ke paru-paru. Proses penyedotan cairan dimulai.

Sedikit demi sedikit, mengalir dengan lancar, cairan berwarna kuning kental seperti minyak goreng curah mengalir keluar. Memenuhi botol Aqua 1 liter yang  memang digunakan untuk menampung cairan tersebut.

Penyedotan selesai.
Mama Niken kembali ke bangsal.

Dokter Syafrizal datang dan menjelaskan kalau berhasil mengambil 600 ml cairan dari paru-paru. Beliau juga menjelaskan kalau cairan yang keluar berwarna kuning pekat seperti minyak goreng curah, syukurnya, itu berarti bahwa tidak terjadi infeksi lain. Kriterianya lainnya adalah, jika bercampur dengan darah atau berwarna kuning kehitaman, berarti terjadi infeksi berat di sana. Kami ternganga dan bersyukur mendengar penjelasan beliau.

Di ruang perawatan, mama Niken bercerita pada ayah Harun, bahwa ketika penyedotan berlansung napasnya terasa sangat sesak. Lalu perawat memberikan tabung oksigen untuk membantu bernapas.

Selama perawatan mama Niken, ayah Harun memutuskan untuk izin mengajar. Setiap hari meng-SMS soal ke salah satu guru di NF untuk diberikan pada anak didikku di Cinangka. Selama itu pula ayah Harun selalu menemani mama Niken selama 24 jam. Tidur di ubin di bawah kasur yang digunakan mama Niken. Makan selalu membeli dari warung-warung yang ada di sekitar rumah sakit. Setiap pagi dan sore mengantri air panas untuk mandi mama niken. Yang hanya sibin. Mandi pun aku menumpang pada kamar mandi pasien.
Beberapa kali kami kedatangan tamu yang menjenguk, tetangga TMII, Bapak dan Emak dari ayah Harun, termasuk Ibu dari Boyolali yang memaksa untuk menengok anak bungsunya di Rumah Sakit. Namun, ketika ibu meminta untuk ikut menginap, kami tidak mengizinkan, karena kondisi bangsal kami yang sebagian besar adalah pasien penyakit menular.

Banyak peristiwa yang kami saksikan selama 5 hari di bangsal melati.
Suatu hari seorang wanita muda berusia sekitar 23-an dirawat dengan diantar suami dan keluarganya, sekitar 6 orang. Wanita itu terus berteriak-teriak, tubuhnya berwarna coklat kekuningan, jari tangan dan kaki, dan matanya berwarna kuning. Setiap berteriak, dia seperti orang tidak sadar. Memberontak dan memaksa untuk tidur di lantai, dalam raungannya dia selalu berkata “Panas! Panas!” dia sampai mau membuka baju yang dikenakannya. Keenam keluarganya memegangi tangan, kaki, dan kepalanya. Bahkan tak lama berselang, datang seorang paranormal yang berusaha untuk menenangkan wanita tersebut. Pakai acara disembur air segala. Keluarganya berkata, ini pasti ada yang ‘ngerjain’.
Akhirnya suster berhasil menenangkannya setelah bekerja keras memberikan obat penenang.
Sebenarnya wanita itu memiliki penyakit yang sama dengan mama Niken. TBC. Menurut dokter, efek dari obat TBC –yang notabene adalah obat keras dan harus diminum dalam jangka waktu lama- adalah menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit lever.  Mama Niken sangat ketakutan, dia membayangkan akan juga menderita seperti itu. Semalaman ia tidak bisa tidur.

Malam, tepat setelah kejadian siang tadi, dimana wanita muda kekuningan itu datang, seorang pasien yang ada tepat di depan dipan tempat mama Niken meninggal dunia. Karena kasurnya berhadap-hadapan, sebelum meninggal, mama Niken kerap beradu pandang dengan pasien tersebut. Tatapannya yang tajam dan kosong menjelejahai ruang tanya di benak mama Niken. 
Seorang wanita yang sangat kurus. Tubuhnya bagaikan tulang yang dibalut kulit dengan sedikit. Rambutnya yang pendek membuat dia semakin menyeramkan. Bahkan mama niken sempat bertanya pada ayah Harun, “dia laki-laki atau perempuan sih?”
Dari informasi keluarganya, mbak (kami lupa namanya, dulu sempat tahu, karena memang namanya terpampang di dipannya) tersebut sakit TBC. Namun, dia tidak kontrol secara rutin. Kami juga tahu, bahwa ia belum menikah dan berprofesi sebagai guru.
Malam itu, ayah Harun tertidur karena capai. Mama Niken menyaksikan semuanya.
Keluarga dari mbak tadi memanggil-manggil namanya. Mereka beristighfar, sayup-sayup kalimat ‘Innalillahi wa innailaihi rojiun’ terdengar dari dipan depan kami.
Mama Niken membangunkan ayah Harun
Salah seorang keluarga, keluar memanggil perawat. Perawat datang. Tak lama dokter jaga masuk. Mereka membawa hijab yang biasa digunakan pasien jika ingin mandi kucing di kasurnya. Hijab itu membuat kami tidak dapat melihat apa pun yang terjadi dibaliknya.
Sekian menit berlalu. Hijab dibuka. Kami melihat kain putih telah menutupi wajah mbak tadi. Lirih kami juga mengucapkan innalillah. Kesibukan terjadi lagi. Malam itu juga, jenazah dipindahkan.

Mama Niken makin tak bisa tidur.

              Setelah lima hari dalam perawatan, akhirnya dokter memutuskan mama Niken dapat pulang. Kerinduan dengan dunia luar telah bergemuruh di dada kami.
Dokter memutuskan untuk dilakukan kontrol seminggu sekali, kami putuskan hari Sabtu, karena Sabtu, karena Ayah Harun libur.
Lewat pemikiran panjang dan pertimbangan, kami memutuskan, mama Niken untuk sementara tidak kembali ke NFBS. Antara lain alasan yang terungkap adalah, karena kondisi NFBS yang hutan sehingga mungkin saja udaranya lembap dan tidak cocok untuk penyembuhan. Juga karena stigma bahwa penyakit TBC adalah penyakit menular membuat kami juga khawatir menjadi sumber penularan.
Kami putuskan, setelah meminta izin dari banyak pihak, mama Niken harus tinggal di Cikampek. Mengapa tidak di Jakarta. Di rumah mertua, mama Niken keberatan; di rumah kakaknya yang di daerah Cililitan tidak mungkin karena ada bayi di sana. Tinggal di Jawa? Mama Niken harus control ke pasar rebo seminggu sekali. Pilihan terakhir adalah di Cikampek, tempat kakaknya –mas Dar dan istrinya Mbak Rini- karena belum mempunyai momongan.
Ayah Harun? Kembali ke NF, karena tugas mengajar menunggu
Selama sekitar tiga bulan, kami hidup berjauhan. Dua minggu sekali, kami bertemu di Pasar Rebo dan menginap di rumah orang tua Ayah Harun. Di TMII. Jadi, ada waktu dimana mama Niken harus berangkat dari Cikampek ke Pasar Rebo, sendirian. Dengan kondisinya yang lemah. Naik bus dan angkot.
Sabtu berangkat, kadang Jumat malam. Senin kembali lagi ke NF. Itulah ritual perjalanan yang dilaku oleh ayah Harun setiap harus ke Jakarta.
Kami bersyukur, tuhan tidak memberikan kami momongan saat itu. Karena ternyata dokter melarang mama Niken untuk hamil sebelum tuntas pengobatan atau sebelum mendapat rekomendasi dari dokter. Karena hal itu dapat menyebabkan janin tertular dan lahir dalam keadaan tidak normal.
Kami ikhlas.
Jauh dari sang Suami, mama Niken selalu dalam kesendirian dan kesepian. Setiap pagi, mas Dar dan istrinya selalu berangkat kerja dan kembali sore hari. Di rumah hanya ada pramuwisma yang setia terhadap mas Dar –karena bekerja sejak mas Dar belum menikah-. Jika kekosongan melanda hati dan pikiran. Bayangan mama Niken menampilkan kisah-kisah mengerikan. Ia membayangkan bahwa usianya tak akan lama lagi.
Ia teringat dengan kejadian-kejadian selama di rumah sakit.
Ia juga merasa miris dengan ayah Niken yang harus ditinggalkannya di NFBS.

NAMUN ITU TIDAK BOLEH BERLANGSUNG LAMA
AKU HARUS BANGKIT!

Mama Niken sadar, dia harus bangkit, dia harus sembuh, dia bertekad apa pun yang disarankan dokter akan dilakukan. Dia harus banyak makan. Dia harus rutin berobat. Dia harus berolah raga. Dia harus hidup.

                Waktu pertama kontrol aku bertemu seorang mahasiswi yang sangat kurus dia di antar oleh ibunya, penyakit TBC yang dideritanya sudah 3 tahunan tapi tidak kunjung sembuh. Saat itu, pikiran mama Niken kembali gak karuan,
Saat itu, di ruang tunggu pasien yang akan kontrol, terlihat pasien yang sudah parah dengan jumlahnya mencapai ratusan. Tak kunjung selesai antrean.
“ Ya Allah berilah aku kesembuhan,” Mama Niken menangis dalam hati, ia sempat bertanya apakah aku dapat sembuh ya Allah?

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberi masukan