Kamis, 13 Desember 2012

Dokter Kok Nakutin



Pernah suatu ketika,
Saat masalah pertama usai kita dihadapkan oleh masalah berikutnya. Seolah memang saat itu mengantri untuk memperlihatkan kedewasaan kita.

Usai derita TB. Mama Niken dihadapkan lagi oleh penyakit mengerikan lainnya. Tumor Payudara.

Hal ihwal, ibu dari Ayah Harun saat kami menikah sedang menjalani proses terapi kemoterapi akibat kanker payudara.

Payudaranya yang sebelah kanan, telah raib diambil paksa tim dokter demi menyelamatkan nyawa Ibunda. Sebetulnya hal itu sudah diprediksi. Kanker yang bersifat turunan telah menggerogoti kaum wanita dari pihak Ibunda. Nenek Ayah Harun, Bude, dan Ibunda menderita penyakit menakutkan tersebut.

Bahkan saat pernikahan kami, Ibunda sebetulnya dalam keadaan lemah dengan rambut yang baru saja mulai tumbuh akibat radiasi kemoterapi.

Mengetahui hal itu, Mama Niken memiliki penilaian tersendiri terhadap Kanker Payudara.

HINGGA SUATU KETIKA

Mama Niken merasa ada benjolan di payudaranya sebelah kanan. Tidak hanya satu tetapi tiga. Ketika disentuhnya, benjolan yang seakan berisi cairan itu bergerak-gerak menghidari sentuhan.

Mama Niken panik. Apalagi ini? Mungkinkah? Diingat-ingat, tidak ada keluarga mama NIken mendertita kanker. Ya Allah, cobaan ini semoga mendewasakan kami.

Kami segera memeriksakan kondisi ini ke klinik NFBS. Dari klinik, kami mendapatkan kabar, kalaupun ini adalah tumor, maka tumor jinaklah yang bersarang di sana. Karena karakteristik tumor ganas apalagi kanker adalah, jika disentuh maka dia menetap di tempatnya. Tidak bergerak-gerak.

Maski begitu, tidak mengurangi kecemasan dan kepanikan kami.

Untuk lebih memastikan, kami mengunjungi dokter di RSUD terdekat dari tempat kami tinggal. Dokter penyakit dalam menerima kami dengan ramah.

Saat diperiksa itulah, Dokter memberitahukan kabar
“Ya, betul. Ini tumor jinak. Harus diangkat” ujar dokter.
“Tidak pakai uji laboratorium Dok?” Ayah harun yang mengetahui prosedur dari pengalaman Ibunda menanyakan prosedur awal untuk sekadar mengingatkan dokter.
“Oh, gak perlu, ini sudah pasti tumor” dokter berkata dengan tenang.
Mama Niken terlihat meningkat garis kegelisahannya
“Memang kalau dioperasi, berapa biayanya dok?” Tanya Ayah Harun mengharapkan jawaban yang tidak jauh-jauh dari kantongnya.
“satu kali tindakan 750 ribu. Karena ada tiga benjolan, jadi totalnya 2.250.000” ujarnya santai

Kesantaian yang sama tidak dirasakan Ayah Harun dan Mama Niken. Angka-angka yang disebutkan tadi tidak sampai tertulis di rekening Ayah Harun yang terkuras karena kontrol Mama Niken yang masih membutuhkan dana besar.

“Nanti di operasi di RSUD dok?” ayah Harun membuka pertanyaan baru.
“Oh, tidak! Nanti dioperasinya di tempat praktik saya di xxx (menyebutkan nama sebuah swalayan besar di kota ini) kapan saja kalau sudah siap segera hubungi saya. Sebaiknya cepat, agar tidak cepat menyebar.”
“Baik, dok, kami pikir-pikir dahulu.”

Kami keluar dari rumah sakit dengan beban yang makin berat. Tidak ada keceriaan di wajah Mama Niken. Wajar, beliau sangat terpukul.

Tenang Ma, kita coba hunting dahulu di internet. Siapa tahu ada obat tradisional yang dapat menyembuhkan sakit Mama Niken.

Beberapa hari kemudian, setelah melakukan pertimbangan beragam dan dukungan dari teman-teman, saudara, dan sedikit referensi dari dokter-dokter di internet, kami  memutuskan untuk melakukan second opinion ke RSCM.

Mama Niken berpendapat, kalaupun harus dioperasi, ia maunya dioperasi di rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Lagipula, ada maksud lain. Di RSCM ada bulik dari Ayah Harun yang menjadi perawat di klinik Penyakit Dalam tempat Mama Niken akan diperiksa. Bulik Uti –nama lengkapnya gak tahu-

Harapan kami, kami mendapat bimbingan yang tepat kemana kami harus melangkah.

Sampai di RSCM, kami segera menemui bulik Uti, Alhamdulillah kami merasa terbantu sekali dengan keberadaan bulik Uti di sisi kami.

VONIS YANG MENGEJUTKAN

Tiba giliran kami, Mama Niken diperiksa oleh seorang cadok (calon dokter) yang memeriksa Mama Niken di bawah bimbingan dokter senior. Saat itu, kami diminta untuk menyediakan alat suntik untuk mengambil contoh cairan yang mengisi benjolan di payudara Mama Niken.

Cairan diambil, benjolan menghilang. Kami diberi pesan untuk kembali seminggu lagi untuk mengetahui hasil laboratorium.

Seminggu berlalu. Kami kembali menghadap calon dokter yang sama. Beliau masih bersama dokter pendampingnya.

Kami duduk dihadapannya dengan kegelisahan yang hampir tak bisa ditutupi. Beliau menatap dengan lembut. Dengan tenang dan teratur beliau menjelaskan pada kami. –kira-kira seperti ini-

“Setelah meneliti hasil laboratorium cairan kemarin, ternyata tidak ditemukan kasus tumor di sana. Cairan kemarin hanyalah cairan biasa yang diproduksi secara teratur oleh kelenjar susu. Karena jaringan kelenjar ibu mengalami penyempitan maka cairan tadi macet danmenggumpal di sana.”

‘Jadi, cairan susu tadi jika tidak diminum oleh bayi akan kembali ke dalam tubuh. Namun, karena ada penyumpatan maka tertahan dan membentuk benjolan berisi air.”

“Kasus seperti ini sering terjadi kok. Biasanya menimpa gadis-gadis atau ibu muda yang belum memiliki anak. Nanti, jika sudah menyusui tidak akan terjadi lagi.”

“Biasanya kasus ini disebabkan oleh pola makan yang salah. Suka makan junk food dan merokok atau terpapar polusi.”

“Besok, kalau ternyata ada benjolan seperti ini lagi, Ibu pergi aja ke puskesmas, bilang… minta di aspirasi. Nanti akan disedot biasa pakai suntikan.”

“Ibu tenang aja, ini bukan tumor apalagi kanker. Jadi, gak perlu dioperasi.”

JUUUEEEGGGGEEERRRRRR!!!!!!!!

Bagai tersambar kereta, kami sangat kaget plus bahagia mendengar penjelasan tadi. Ternyata penyakit yang diderita mama Niken tidak sedahsyat yang dikabari oleh dokter pertama.

Kami sempat sakit hati, untung belum diapa-apain, coba kalau sudah dioperasi segala. Wah! Malapraktik tuh! Apalagi setelah melihat sendiri klinik praktik dokter bersangkutan. Hiiii, makin gak yakin deh.

Sejak saat itu kami bersumpah –ceile- untuk selalu mengedepankan second opinion jika berhadapan dengan penyakit. Juga tidak langsung percaya dengan keputusan dokter. Dokter juga manusia. Bisa salah. Cuma… kalau dokter salah, taruhannya nyawa. Syerem deh!

Trus, kalau mau dilakukan tindakan, mending ke rumah sakit besar aja deh. –ini pendapat saya lho-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberi masukan