Pernah suatu ketika,
Saat masalah pertama usai kita
dihadapkan oleh masalah berikutnya. Seolah memang saat itu mengantri untuk
memperlihatkan kedewasaan kita.
Usai derita TB. Mama Niken
dihadapkan lagi oleh penyakit mengerikan lainnya. Tumor Payudara.
Hal ihwal, ibu dari Ayah Harun saat
kami menikah sedang menjalani proses terapi kemoterapi akibat kanker payudara.
Payudaranya yang sebelah kanan,
telah raib diambil paksa tim dokter demi menyelamatkan nyawa Ibunda. Sebetulnya
hal itu sudah diprediksi. Kanker yang bersifat turunan telah menggerogoti kaum
wanita dari pihak Ibunda. Nenek Ayah Harun, Bude, dan Ibunda menderita penyakit
menakutkan tersebut.
Bahkan saat pernikahan kami, Ibunda
sebetulnya dalam keadaan lemah dengan rambut yang baru saja mulai tumbuh akibat
radiasi kemoterapi.
Mengetahui hal itu, Mama Niken
memiliki penilaian tersendiri terhadap Kanker Payudara.
HINGGA SUATU KETIKA
Mama Niken merasa ada benjolan di
payudaranya sebelah kanan. Tidak hanya satu tetapi tiga. Ketika disentuhnya,
benjolan yang seakan berisi cairan itu bergerak-gerak menghidari sentuhan.
Mama Niken panik. Apalagi ini?
Mungkinkah? Diingat-ingat, tidak ada keluarga mama NIken mendertita kanker. Ya
Allah, cobaan ini semoga mendewasakan kami.
Kami segera memeriksakan kondisi ini
ke klinik NFBS. Dari klinik, kami mendapatkan kabar, kalaupun ini adalah tumor,
maka tumor jinaklah yang bersarang di sana. Karena karakteristik tumor ganas
apalagi kanker adalah, jika disentuh maka dia menetap di tempatnya. Tidak
bergerak-gerak.
Maski begitu, tidak mengurangi
kecemasan dan kepanikan kami.
Untuk lebih memastikan, kami
mengunjungi dokter di RSUD terdekat dari tempat kami tinggal. Dokter penyakit
dalam menerima kami dengan ramah.
Saat diperiksa itulah, Dokter
memberitahukan kabar
“Ya, betul. Ini tumor jinak. Harus diangkat” ujar dokter.
“Tidak pakai uji laboratorium Dok?” Ayah harun yang
mengetahui prosedur dari pengalaman Ibunda menanyakan prosedur awal untuk
sekadar mengingatkan dokter.
“Oh, gak perlu, ini sudah pasti tumor” dokter berkata dengan
tenang.
Mama Niken terlihat meningkat garis
kegelisahannya
“Memang kalau dioperasi, berapa biayanya dok?” Tanya Ayah
Harun mengharapkan jawaban yang tidak jauh-jauh dari kantongnya.
“satu kali tindakan 750 ribu. Karena ada tiga benjolan, jadi
totalnya 2.250.000” ujarnya santai
Kesantaian yang sama tidak dirasakan
Ayah Harun dan Mama Niken. Angka-angka yang disebutkan tadi tidak sampai
tertulis di rekening Ayah Harun yang terkuras karena kontrol Mama Niken yang
masih membutuhkan dana besar.
“Nanti di operasi di RSUD dok?” ayah Harun membuka
pertanyaan baru.
“Oh, tidak! Nanti dioperasinya di tempat praktik saya di xxx
(menyebutkan nama sebuah swalayan besar di kota ini) kapan saja kalau sudah
siap segera hubungi saya. Sebaiknya cepat, agar tidak cepat menyebar.”
“Baik, dok, kami pikir-pikir dahulu.”
Kami keluar dari rumah sakit dengan
beban yang makin berat. Tidak ada keceriaan di wajah Mama Niken. Wajar, beliau
sangat terpukul.
Tenang Ma, kita coba hunting dahulu
di internet. Siapa tahu ada obat tradisional yang dapat menyembuhkan sakit Mama
Niken.
Beberapa hari kemudian, setelah
melakukan pertimbangan beragam dan dukungan dari teman-teman, saudara, dan
sedikit referensi dari dokter-dokter di internet, kami memutuskan untuk
melakukan second opinion ke RSCM.
Mama Niken berpendapat, kalaupun
harus dioperasi, ia maunya dioperasi di rumah sakit yang memiliki fasilitas
lengkap. Lagipula, ada maksud lain. Di RSCM ada bulik dari Ayah Harun yang
menjadi perawat di klinik Penyakit Dalam tempat Mama Niken akan diperiksa.
Bulik Uti –nama lengkapnya gak tahu-
Harapan kami, kami mendapat
bimbingan yang tepat kemana kami harus melangkah.
Sampai di RSCM, kami segera menemui
bulik Uti, Alhamdulillah kami merasa terbantu sekali dengan keberadaan bulik
Uti di sisi kami.
VONIS YANG MENGEJUTKAN
Tiba giliran kami, Mama Niken
diperiksa oleh seorang cadok (calon dokter) yang memeriksa Mama Niken di bawah
bimbingan dokter senior. Saat itu, kami diminta untuk menyediakan alat suntik
untuk mengambil contoh cairan yang mengisi benjolan di payudara Mama Niken.
Cairan diambil, benjolan menghilang.
Kami diberi pesan untuk kembali seminggu lagi untuk mengetahui hasil
laboratorium.
Seminggu berlalu. Kami kembali
menghadap calon dokter yang sama. Beliau masih bersama dokter pendampingnya.
Kami duduk dihadapannya dengan
kegelisahan yang hampir tak bisa ditutupi. Beliau menatap dengan lembut. Dengan
tenang dan teratur beliau menjelaskan pada kami. –kira-kira seperti ini-
“Setelah meneliti hasil laboratorium
cairan kemarin, ternyata tidak ditemukan kasus tumor di sana. Cairan kemarin
hanyalah cairan biasa yang diproduksi secara teratur oleh kelenjar susu. Karena
jaringan kelenjar ibu mengalami penyempitan maka cairan tadi macet
danmenggumpal di sana.”
‘Jadi, cairan susu tadi jika tidak
diminum oleh bayi akan kembali ke dalam tubuh. Namun, karena ada penyumpatan
maka tertahan dan membentuk benjolan berisi air.”
“Kasus seperti ini sering terjadi
kok. Biasanya menimpa gadis-gadis atau ibu muda yang belum memiliki anak.
Nanti, jika sudah menyusui tidak akan terjadi lagi.”
“Biasanya kasus ini disebabkan oleh
pola makan yang salah. Suka makan junk food dan merokok atau terpapar polusi.”
“Besok, kalau ternyata ada benjolan
seperti ini lagi, Ibu pergi aja ke puskesmas, bilang… minta di aspirasi. Nanti
akan disedot biasa pakai suntikan.”
“Ibu tenang aja, ini bukan tumor
apalagi kanker. Jadi, gak perlu dioperasi.”
JUUUEEEGGGGEEERRRRRR!!!!!!!!
Bagai tersambar kereta, kami sangat
kaget plus bahagia mendengar penjelasan tadi. Ternyata penyakit yang diderita
mama Niken tidak sedahsyat yang dikabari oleh dokter pertama.
Kami sempat sakit hati, untung belum
diapa-apain, coba kalau sudah dioperasi segala. Wah! Malapraktik tuh! Apalagi
setelah melihat sendiri klinik praktik dokter bersangkutan. Hiiii, makin gak
yakin deh.
Sejak saat itu kami bersumpah
–ceile- untuk selalu mengedepankan second opinion jika berhadapan dengan
penyakit. Juga tidak langsung percaya dengan keputusan dokter. Dokter juga
manusia. Bisa salah. Cuma… kalau dokter salah, taruhannya nyawa. Syerem deh!
Trus, kalau mau dilakukan tindakan,
mending ke rumah sakit besar aja deh. –ini pendapat saya lho-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberi masukan