Oleh: Hari Untung
Maulana
Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia. Dengan pendidikan, manusia mampu mengubah dirinya dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dan dari tidak biasa menjadi biasa
(Tabibia – Tahu Bisa Biasa).
Proses tabibia tersebut sejatinya bersumber dari
ribuan jalan dan jutaan cara. Seorang petani, mampu menentukan waktu tanam
karena pembelajaran dari ayahnya, seorang nelayan mampu membedakan ombak
biasa dengan ombak badai karena pelatihan yang
diberikan pamannya, bahkan seorang pemburu mampu membedakan ular beracun atau
tidak dari pengalamannya digigit puluhan jenis ular.
Anak-anak
petani, sejatinya hanya perlu belajar dari sawah, ladang, ular, dan serangga
untuk memahami tentang pertanian agar menjadi petani sukses. Anak-anak nelayan,
semestinya cuma berguru pada ombak, angin, dan bintang gemintang untuk menjadi
nelayan yang tangguh. Anak-anak pemburu seyogianya hanya menimba ilmu dari
pepohonan, hewan liar, burung-burung, dan belantara untuk menjadi pemburu yang
andal.
Tapi jika itu
mereka lakukan saat ini. Niscaya pengetahuan mereka tentang sawah, padi, musim
panen, badai, rasi bintang, dan perilaku hewan liar hanya akan diakui oleh
sebagian kecil dari mereka. Mengapa? Karena mereka tidak sekolah dan karena
mereka masih dianggap tidak berpendidikan.
Pendidikan yang
dilegalisasi adalah pendidikan yang harus dibuktikan lewat selembar ijazah. Pendidikan
yang dilegalisasi adalah pendidikan yang harus menapaki anak tangga bertuliskan
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan masa
sekarang adalah pendidikan yang langkah demi langkahnya harus
dihitamatasputihkan dan disebut sebagai kurikulum. Pendidikan zaman ini adalah
pendidikan yang gurunya harus memiliki akta sebagai pendidik. Pendidikan hari
ini adalah pendidikan yang harus legal dari segala syaratnya.
Ketika sebuah
proses pendidikan dilegalkan, maka harus ada standar yang menentukan, pendidikan
seperti apa yang bisa dan hanya bisa dianggap legal. Standar itulah yang
nantinya akan menjadi pegangan semua manusia di negara itu dalam proses
pelaksanaan pendidikan. Dan semua yang tidak memenuhih standar, tidak boleh
disebut sebagai proses pendidikan.
Legalisasi
pendidikan akhirnya menyeret kita pada berbagai kebutuhan yang harus diadakan jika
pendidikan itu dilegalkan. Di Indonesia, kebutuhan itu tertuang dalam SNP
(Standar Nasional Pendidikan), yaitu
2.
Standar Isi
Di bawah ini, beberapa
dampak dari legalisasi pendidikan kaitanya dengan SNP.
1.
STANDAR PENDIDIKAN : Semua institusi/lembaga yang berminat melaksanakan
proses pendidikan haruslah mendaftarkan diri pada kementrian / pemerintah. Lembaga
tersebut, harus siap untuk dinilai sisi kesiapannya dalam proses
pendidikan. Institusi/perorangan itu harus
memenuhi segala syarat yang dibutuhkan untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Jika syarat pendidikan harus ada akta, bangunan, guru dari lulusan sekolah
tinggi. Maka, sudah tidak mungkin sawah, hutan, laut, gunung, sungai ular,
gajah, pengalaman ayah, pembelajaran dari sahabat, dan informasi dari alam
disebut sebagai pendidikan.
Setelah dipenuhi pun,
akan dianalisis, apakah sekolah hanya mampu bernilai SMP (Standar Minimal
Pendidikan) atau SNP (Standar Nasional Pendidikan). Implikasi dari perlunya
pendaftaran ini adalah, sekolah akan terikat dengan aturan-aturan baku
pelaksanaan pendidikan yang standar. Sedangkan pendidikan kehidupan yang tidak
terdaftar tidak bisa disebut sebagai lembaga pendidikan. Bahkan dianggap ilegal
dan ada hukumannya.
2.
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN: Tujuan dari terselenggaranya pendidikan adalah
adanya perubahan tingkah laku yang berlaku secara menetap dalam jangka waktu
lama. Jika hanya itu, maka sesungguhnya pendidikan dapat berlangsung dimana
saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Namun faktanya, orang
yang terlibat dalam pendidikan (dalam hal ini yaitu murid) haruslah lulus
sesuai dengan standar kompetensi lulusan di tiap-tiap level. Pemerintah telah
membuat batasan-batasan agar peserta didik hanya mengetahui dan mempelajari
hal-hal yang telah diatur dalam standar kompetensi lulusan. Anak SD hanya perlu
tahu dan berkenalan dengan matematika, anak SMP sudah mulai diberi tingkatan
yang lebih sulit, demikian seterusnya. Sehingga, Udin yang usianya baru 14
tahun namun karena belajar otodidak perbintangan dan hanya berguru pada ayahnya
yang berpengalaman pergi melaut, tidak dianggap sebagai proses belajar, karena
tidak sesuai dengan dan tidak memenuhi standar kompetensi lulusan.
3.
STANDAR ISI: Pemerintah
lewat Kementrian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan telah menetapkan standar
isi yang meliputi kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender yang harus diterapkan di
sekolah. Sehingga bentuk pendidikan lain yang tidak mengacu pada standar isi tidaklah
disebut sebagai pendidikan.
4.
STANDAR PROSES PENDIDIKAN: Standar
ini mewajibkan setiap satuan pendidikan haruslah membuat perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,
dan pengawasan proses pembelajaran untuk
terlaksananya
proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Semua kegiatan di atas haruslah
selalu di supervisi secara bertahap mulai dari kepala sekolah sampai dinas
terkait. Jadi, walaupun setelah mendapat pengetahuan tentang cara bercocok tanam
akhirnya anak diuji atau dinilai hasil belajarnya oleh sang ayah, tetap
pendidikan seperti itu tidak dimasukkan dalam pendidikan yang legal.
5.
STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN: Semua pengajar / guru yang akan mengajar di sebuah
lembaga pendidikan, harus mematuhi aturan standar nasional yang ketat. Semua
guru harus memiliki akta-4, semua guru harus mampu membuat perangkat
pembelajaran, semua guru harus terdaftar di dapodik (daftar pokok pendidikan),
semua guru harus
terlaporkan ke diknas
kabupaten setempat. Sehingga, Komar sang pemburu andal yang menguasai seluk
beluk hutan dengan isinya tidak bisa disebut guru walaupun ia memiliki puluhan
murid. Badru sang petani
teladan yang telah
menerima penghargaan dari presiden tidak bisa disebut guru walau binaannya
berjumlah ratusan yang tersebar di lima desa. Kirin sang nelayan sukses yang
menguasai ilmu perbintangan secara otodidak tidak bisa disebut guru walau yang
berguru kepadanya berjumlah puluhan orang. Mengapa? Karena mereka tidak
bersertifikat dan tidak mengikuti aturan standar kurikulum pendidikan.
6.
STANDAR SARANA DAN PRASARANA: Standar inilah yang turut menyumbang mahalnya
pendidikan. Sarana pendidikan yang lengkap dan mendukung lah akhirnya yang disebut
dengan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Makna sekolah berarti harus
memiliki kelas, ruang laboratorium, ruang komputer, green house,
lapangan-lapangan olahraga, dan sebagainya. Alam raya sebagai
kelas dan lapangan
sebagai laboratorium belum dianggap sebagai sebuah sarana yang harus dimiliki
oleh sebuah sekolah. Ratih yang mempelajari belalang langsung dari padang
rumput, tak bernilai apa-apa dengan Ratna yang mempelajari belalang dari
ensiklopedi yang terdapat di perpustakaan.
7.
STANDAR PENGELOLAAN: Sistem pendidikan yang legal harus mengacu pada
standar pengelolaan yang sudah ditetapkan untuk harus dilakukan. Standar
pengelolaan pendidikan di Indonesia adalah
pengelolaan yang
dilakukan oleh (1) satuan pendidikan ,(2) pemerintah daerah, dan (3) pemerintah
pusat. Semua pengelolaan harus runut dari level guru, wali kelas, kepsek,
komite sekolah, dinas pendidikan tingkat rayo, kabupaten, provinsi, sampai
tingkat kementrian (pusat).
Konsekuensi dari
legalitas pendidikan adalah adanya legalisasi yang dilakukan oleh pemerintah
baik pemeriintah daerah mapun pusat. Proses pendidikan yang tidak melakukan
pengelolaan maka dianggap ilegal.
8.
STANDAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN: Untuk menyelenggarakan pendidikan, tentu diperlukan
biaya yang tidak sedikit. Standar pembiayaan yang dilegalkan oleh pemerintah
lewat delapan standar pendidikan adalah (1) Biaya investasi satuan pendidikan
(2) biaya personal / SPP siswa (3) Bantua Operasional Sekolah dari masyarakat. Pendidikan dengan
biaya murah di teras masjid terminal, belum bisa disebut sebagai proses
pendidikan yang legal.
9.
STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN: Inilah kegiatan akhir dari proses pendidikan.
Setelah siswa diberi ilmu yang berguna, selanjutnya diuji apakah siswa paham
dan mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Bentuk ujian dari pendidikan formal
biasanya ujian kognitif mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Sedangkan Ridwan
yang diuji oleh ayahnya secara langsung untuk berburu ke hutan belantara, belum
bisa disebut sebagai ujian pendidikan.
Begitulah,
legalisasi pendidikan mewajibkan semuanya terpenuhi karena suatu yang legal
harusnya terukur. Sesungguhnya, mengapa manusia harus bersusah payah membuat
aturan standar pelaksanaan pendidikan? Bukankah jika tidak diatur jauh lebih
mudah untuk melakukan proses pendidikan? Ini beberapa alasannya.
1.
PENDIDIKAN DILEGALISASI (DIATUR) AGAR TERATUR.
Keteraturan dibutuhkan
untuk menggerakkan sistem yang sangat besar. Keteraturan diandalkan untuk
menjamin keterlaksanaan sistem yang penuh cabang. Pendidikan sebagai suatu
sistem dipandang perlu dibuat suatu aturan. Dan sesungguhnya, dengan dibuatnya
peraturan tersebut. Sejak saat itulah legalisasi pendidikan dimulai.
Contoh-contoh jika
sistem pendidikan tidak diatur:
a.
Bagaimana jika
ada tiga pemburu andal yang menerapkan tiga cara berburu yang menurut mereka,
cara mereka adalah yang terbaik. Pemburu satu menggunakan panah, pemburu yang
lain menggunakan senapan, pemburu yang lainnya menggunakan jerat. Kemudian
mereka berusaha merekrut murid dengan dogmanya masing-masing. Lalu murid-murid
itu bertemu dan saling membanggakan keterampilannya, tentu akan tercipta
kekacauan
b.
Setiap orang
dengan dana terbatas dan sarana prasarana tidak mencukupi bebas mendirikan
sekolah demi menarik uang bayaran kepada siswa
c.
Setiap sekolah
bebas menentukan kurikulumnya sendiri, kalau sudah begini, bagaimana dengan
ujian nasional? Tentu tidak dapat dilaksanakan. Dan tidak ada yang bisa
menjamin baik buruknya kurikulum yang digunakan.
Jadi, sebenarnya,
dengan dilegalisasi, maka proses pendidikan memiliki aturan yang jelas untuk
dilaksanakan.
2.
LEGALISASI MEMASTIKAN PENDIDIKAN BERJALAN SECARA
UNIVERSAL
Maksudnya, keberadaan
kurikulum yang merupakan efek dari legalisasi pendidikan, memastikan bahwa
sebuah pengetahuan disampaikan, meski oleh guru yang berbeda, tempat yang
berbeda, dan waku yang berbeda. Dengan penilaian akhir yang sama yaitu
ujian-ujian yang terbagi atas ujian tengah semester, ujian kenaikan kelas, dan
ujian nasional, yang kesemua ujian tersebut tersentralisasi dari atas.
Contoh yang lain
misalnya, Jika disuatu masa, ada seorang
siswa kelas 8 SMP harus pindah sekolah dari Jakarta ke Surabaya. Maka, karena
pendidikan di Indonesia sudah berjalan universal, siswa tersebut bisa langsung
masuk ke jenjang yang sama dan ikut belajar dengan materi yang sama seperti
ketika dia bersekolah di Jakarta
Jadi, dengan adanya
kurikulum, setiap jenjang pendidikan (SD-PT) mendapatkan porsi dan materi
pembelajaran yang telah disepakati oleh para ahli pendidikan.
3.
SEMUA BISA MENGAWASI
Adanya delapan standar
pendidikan yang telah disosialisasikan oleh pemerintah sebagai lanjutan dari
legalisasi pendidikan, menjadikan jalannya proses pendidikan sebagai suatu yang
dapat diamati oleh semua pihak. Yaitu, orang tua, masyarakat, pengamat, pemerintah,
dan pelaku pendidkan itu sendiri.
Dengan adanya aturan
tertulis delapan standar pendidikan, yang tertuang dalam berbagai permendiknas,
maka seluruh rakyat Indonesia dapat ikut mengawasi keterlaksanaan proses
pendidikan di Indonesia.
Misalnya, sekolah A
tidak memiliki standar pengelolaan yang baik, tentu akan mudah diketahui ketika
masyakat melakukan monitoring, baik lewat komite sekolah maupun lewat pengawas
dari kabupaten atau provinsi.
KESIMPULAN
Awalnya dahulu.
‘Alam Takambang Jadikan
Guru’ adalah sebuah peribahasa yang tepat yang menggambarkan kita haruslah
belajar dari alam. Namun, seiring berjalannya waktu, alam bukanlah faktor
penentu kesuksesan dari pendidikan. Karena semua orang bisa berpendapat sesuai
dengan apa yang ada dalam pikirannya. Proses pencarian ilmu yang tak standar
menjadikan ilmu bersifat ‘Apa yang saya tahu’.
Itulah sebabnya, diperlukan
adanya legalisasi pendidikan, sehingga semua pihak haruslah berpegangan dengan banyak
standar pendidikan yang diberlakukan oleh pemeirntah.
Jadi, dengan
dilegalisasikannya pendidikan, menjadikan proses berjalannya pendidikan di
suatu negara menjadi lebih teratur, runtut, dan terjamin persamaannya.
Cinangka,
7 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberi masukan