Senin, 24 November 2025

Umpan Terakhir di Bawah Jembatan

oleh: Hari Untung Maulana

Deru kendaraan di atas jembatan terdengar seperti geraman raksasa yang tak pernah tidur. Di bawahnya, di kolong yang remang dan berbau tanah basah, Leo melangkah dengan hati-hati. Kakinya terperosok di lumpur dangkal, tapi ia tak peduli. Di genggaman tangannya yang berkeringat, sebuah botol kecil berwarna cokelat terasa berat, jauh lebih berat dari isinya. Ini adalah akhir dari segalanya. Tempat ini sempurna: tersembunyi, terlupakan, sama seperti dirinya.

Ia mencari sudut yang paling gelap untuk menuntaskan urusannya, ketika matanya menangkap sebuah siluet. Di tepi sungai yang mengalir lesu, seorang lelaki tua duduk di atas bangku lipat reyot. Sebuah joran pancing terpasang di depannya, ujungnya menukik ke air yang keruh.

Leo mengumpat dalam hati. Dari sekian banyak kolong jembatan di kota ini, kenapa harus ada orang di sini? Kenapa harus ada saksi untuk keputusasaannya?

"Sedang apa, Pak?" tanya Leo, suaranya lebih ketus dari yang ia niatkan.

Lelaki tua itu menoleh perlahan. Wajahnya berkerut, matanya teduh. Ia tidak tampak terkejut. "Mancing, Nak. Mau coba peruntungan."

"Dapat?"

Lelaki tua itu tersenyum tipis. "Belum. Tapi di situlah seninya. Menunggu."

Leo mendengus. Menunggu. Ia sudah lelah menunggu. Menunggu keajaiban, menunggu utang lunas, menunggu hidup membaik. Tak ada yang datang. Yang tersisa hanya botol kecil di tangannya. Ia duduk beberapa meter dari si pemancing, sengaja membelakanginya. Getar di tangannya semakin menjadi.

"Airnya tenang hari ini," kata si pemancing lagi, memecah keheningan yang canggung. "Biasanya kalau tenang begini, ikan gabus suka keluar."

"Saya tidak peduli ikan," sahut Leo tajam.

"Tentu saja," jawab lelaki tua itu dengan sabar. "Anak muda sepertimu pasti punya urusan yang lebih penting dari ikan."

Leo terdiam. Urusan penting. Ya, urusan untuk mengakhiri semua urusan. Ia membuka tutup botol itu. Bau kimia yang menyengat langsung menusuk hidungnya, membuatnya sedikit mual.

"Tapi kadang," suara si pemancing kembali terdengar, "urusan serumit apa pun, kalau kita diam sejenak dan melihat air, semuanya terasa lebih ringan. Air ini membawa semuanya ke laut. Sampah, daun kering, bahkan mungkin masalah kita."

Leo berhenti. Tangannya yang sudah siap mengangkat botol ke bibir tertahan di udara. Ia melirik lelaki tua itu. "Bapak tidak tahu apa-apa tentang masalah saya."

"Benar. Bapak tidak tahu," aku lelaki itu. "Bapak hanya tahu, seekor ikan sekecil apa pun akan berjuang sekuat tenaga saat kail menyangkut di mulutnya. Ia meronta, melawan, tidak mau menyerah begitu saja. Padahal ia hanya seekor ikan."

Ada sesuatu dalam nada bicara lelaki tua itu—bukan menghakimi, bukan menasihati, hanya sebuah pengamatan sederhana—yang menembus dinding pertahanan Leo. Ia perlahan menurunkan botol itu dan meletakkannya di tanah.

"Untuk apa berjuang kalau pada akhirnya tetap kalah?" desis Leo, lebih pada dirinya sendiri.

Si pemancing menggulung sedikit senarnya. "Siapa yang tahu soal kalah dan menang, Nak? Tugas kita kan hanya berjuang. Soal hasil, itu urusan yang di Atas." Ia menunjuk langit dengan dagunya, yang tak terlihat dari kolong jembatan itu.

Hening kembali menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh suara air dan deru lalu lintas di atas. Lelaki tua itu membuka termosnya dan menuangkan kopi ke dalam cangkir plastik.

"Mau?" tawarnya.

Leo ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia bergeser mendekat dan menerima cangkir kopi panas itu. Kehangatannya menjalar ke telapak tangannya yang dingin. Mereka duduk berdampingan dalam diam, memandangi ujung joran yang tak bergerak. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Leo merasakan sebuah ketenangan. Mungkin lelaki tua ini benar. Mungkin masih ada harapan. Mungkin ia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama.

Pikiran untuk membatalkan niatnya mulai bersemi. Ia bisa membuang botol itu ke sungai, pulang, dan mencoba lagi esok hari.

Tiba-tiba, joran si pemancing bergetar hebat. Ujungnya melengkung tajam. "Wah, dapat!" serunya dengan binar di mata tuanya.

Ia berdiri dan menarik jorannya dengan sigap. Pertarungan singkat terjadi. Air beriak kencang, lalu seekor ikan gabus yang lumayan besar berhasil diangkat ke darat. Ikan itu menggelepar hebat di tanah berlumpur, sisiknya yang gelap berkilat di cahaya remang. Mulutnya membuka dan menutup, insangnya bergerak cepat, berjuang untuk setiap tarikan napas.

Lelaki tua itu tersenyum puas. Ia mengambil ikan itu, melepaskan kail dari mulutnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam keranjang anyaman yang sudah terisi beberapa ikan lain yang lebih kecil.

Leo menyaksikan semua itu dengan napas tertahan. Ia melihat ikan-ikan di dalam keranjang itu. Mereka tidak lagi meronta. Mereka hanya terdiam pasrah, bertumpukan satu sama lain, menunggu ajal. Mereka telah berjuang sekuat tenaga, dan pada akhirnya inilah takdir mereka: masuk ke dalam keranjang, lalu ke dalam wajan penggorengan.

Perjuangan mereka sia-sia.

Kilat pemahaman yang dingin dan mengerikan menyambar pikiran Leo. Harapan yang baru saja mekar di hatinya layu seketika. Ia adalah ikan itu. Ia sudah berjuang, meronta, dan melawan sekuat yang ia bisa. Dan kini ia sudah sampai di ujungnya. Di dalam keranjang takdirnya.

Si pemancing masih sibuk membereskan alatnya, wajahnya berseri-seri karena tangkapan besarnya. Ia tidak menyadari perubahan di wajah Leo.

"Terima kasih kopinya, Pak," ucap Leo dengan suara yang anehnya terdengar tenang.

"Sama-sama, Nak. Ingat..."

Sebelum lelaki tua itu menyelesaikan kalimatnya, Leo dengan satu gerakan cepat meraih botol cokelat di sampingnya. Tanpa ragu sedikit pun, ia menenggak seluruh isinya hingga tetes terakhir.

Lelaki tua itu terperanjat, matanya membelalak ngeri. "Nak! Apa yang kau lakukan?!"

Leo tersenyum getir, cairan racun itu sudah membakar kerongkongannya. Ia menunjuk keranjang ikan dengan sisa tenaganya.

"Pada akhirnya... semua perjuangan... ada batasnya, Pak," desisnya, sebelum tubuhnya kejang dan ambruk ke tanah yang basah.

Si pemancing hanya bisa terpaku. Di hadapannya, tergeletak tubuh seorang anak muda yang telah kalah. Di sampingnya, sebuah keranjang berisi ikan-ikan yang juga telah kalah. Di atas kepalanya, deru kendaraan terus meraung, tak peduli pada satu lagi perjuangan yang baru saja berakhir di kolong jembatan. Joran pancingnya teronggok diam, umpannya sudah habis.

----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberi masukan