oleh: Hari Untung Maulana
Ayah
Dermaga itu menua bersamaku. Tiang-tiangnya keropos, kayunya menghitam di makan waktu dan air asin. Setiap senja, aku duduk di bangku reyot ini, memandang ke cakrawala yang selalu menelan matahari dengan janji palsu esok. Tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun sejak kau pergi, Nak. Rambutku memutih, punggungku membungkuk, dan mataku yang dulu tajam kini hanya mampu menangkap bayangan kerinduan. Kau anak tunggalku, satu-satunya permata yang kutempa dengan peluh dan doa. Ingatkah kau, dulu kau selalu berlari menyambutku pulang dari laut, tangan kecilmu menggenggam erat jariku yang kasar? Kau bilang, "Ayah, aku ingin berlayar lebih jauh dari Ayah!" Dan kau benar. Kau berlayar, jauh sekali. Terlalu jauh.
Botol arak ini adalah teman setiamu kini, jantungku. Isinya panas, tapi tak mampu menghangatkan dinginnya hatiku yang membeku. Orang-orang bilang kau sukses di negeri seberang, Nak. Mereka bilang kau sudah lupa pada ayah tua ini, pada gubuk reyot ini, pada dermaga yang selalu menunggumu. Aku tak percaya. Aku tak mau percaya. Seorang anak yang kutimang dengan segala kasih sayang, tak mungkin sekejam itu. Pasti ada alasannya, Nak. Pasti. Tapi alasan apa yang mampu menjelaskan keheningan yang memekakkan ini? Setiap kapal yang merapat, setiap wajah pelaut yang turun, selalu kuharap itu wajahmu. Selalu. Dan setiap kali pula, aku pulang dengan hampa, membawa serta kecewa yang mengoyak-ngoyak sisa hidupku. Apakah kau masih mengingat bau laut ini? Bau yang membesarkanmu, bau yang kini hanya menyisakan aroma pilu.
Anak
Garam. Bau amis. Peluh. Itu saja yang ada. Di lambung kapal yang berkarat, di tengah lautan yang tak bertepi, aku adalah budak. Namaku tak lagi penting. Aku adalah 'dia'. 'Dia' yang harus menarik jaring hingga tangan melepuh, 'dia' yang harus bekerja tanpa henti di bawah cambuk dan makian, 'dia' yang harus makan sisa-sisa busuk agar tetap hidup. Dua puluh tahun. Dua puluh tahun sejak kaki ini menginjak tanah asing yang dijanjikan sebagai surga. Surga pekerjaan, surga uang. Tapi yang kudapatkan adalah neraka.
Malam ini, badai kembali datang. Ombak menjulang setinggi rumah, memecah lambung kapal seolah ingin menelannya bulat-bulat. Aku terikat pada tiang, mencoba bertahan agar tidak terlempar ke air yang siap menelan. Dingin menembus tulang, perih mengoyak kulit. Aku ingat Ayah. Wajahnya yang keriput, tangannya yang kasar tapi selalu lembut membelai rambutku. Ayah, maafkan aku. Aku berjanji akan menjemputmu, Ayah. Aku berjanji akan mengirimimu uang agar kau tak perlu lagi memancing di dermaga tua itu. Tapi janji itu kini hanya hantu, bergentayangan di antara gelombang yang mengganas.
Setiap kali jaring ditarik, setiap kali ikan-ikan perak berloncatan, aku melihat wajah Ayah di pantulan air. Ayah yang selalu bangga padaku, Ayah yang menaruh semua harapannya padaku. Harapan itu kini tenggelam, seiring dengan matahari yang tak pernah kulihat terbit dari tempat yang sama. Di sini, matahari hanya muncul untuk menyiksa, lalu menghilang tanpa jejak, meninggalkan kegelapan yang abadi. Bagaimana aku bisa kembali, Ayah? Bagaimana aku bisa menunjukkan wajah yang sudah hancur ini, jiwa yang sudah remuk ini? Mereka bilang aku sudah mati. Dan kadang, aku berharap itu benar.
Ayah
Kadang, aku melihat bayanganmu di antara ilalang yang bergoyang. Rambutmu yang dulu ikal, tawamu yang renyah, cara kau menatap laut dengan mata penuh cita-cita. Aku merangkak, mendekat, memanggil namamu. "Nak! Pulanglah, Nak!" Tapi ilalang itu hanya bergoyang, menertawakan kebodohanku. Kau bukan di sana. Kau jauh. Atau mungkin, kau memang tak pernah ada lagi. Aku hanya berpegangan pada kenangan, pada potongan-potongan suara dan tawa yang sudah pudar.
Tetangga sebelah, Mang Ujang, meninggal kemarin. Meninggal dengan senyum karena anak-anaknya semua ada di sampingnya. Aku iri. Iri sampai rasanya ingin menangis darah. Aku ingin merasakan sentuhan tanganmu lagi, Nak. Ingin kudengar suaramu memanggil "Ayah". Sekali saja. Sebelum mataku tertutup untuk selamanya. Tapi hanya dingin yang kurasakan. Dinginnya bangku dermaga, dinginnya cangkir arak, dinginnya harapan yang tak kunjung bersemi. Aku tak tahu harus percaya apa lagi. Semua orang bilang kau bahagia, tapi mengapa hatiku terus meratap? Mengapa setiap malam, aku mendengar suara isak tangis dari balik pintu yang terkunci, yang aku tahu itu adalah suaraku sendiri?
Anak
Tubuhku membiru. Tangan ini bengkak, kuku-kuku hitam karena lumpur dan darah ikan. Kapal ini bagaikan penjara terapung. Tidak ada batas, tidak ada tembok, tapi aku tak bisa ke mana-mana. Lautan adalah temboknya, penjaga-penjaganya adalah iblis berwajah manusia. Mereka menertawakan penderitaanku, menganggapku tak lebih dari seonggok daging yang bisa mereka peras tenaganya.
Aku pernah mencoba lari. Terjun ke laut saat penjaga lengah. Tapi air terlalu dingin, arusnya terlalu kuat. Aku ditarik kembali. Dipukuli. Disiksa sampai aku tak bisa merasakan apa-apa lagi selain perih. Setelah itu, aku tak pernah mencoba lagi. Aku hanya bekerja. Bekerja sampai aku lupa siapa aku, lupa di mana aku. Kadang, aku melihat perahu-perahu kecil melintas jauh di cakrawala. Perahu nelayan, seperti milik Ayah dulu. Aku ingin berteriak, ingin memohon bantuan. Tapi suaraku tercekat. Atau mungkin, mereka tidak akan mendengar. Siapa yang akan mendengar tangisan hantu di tengah lautan luas?
Aku melihat bintang-bintang. Jutaan bintang yang dulu selalu kutatap bersama Ayah di teras rumah. Bintang-bintang itu sama, tapi kini mereka tampak asing. Dingin. Mereka seolah menatapku dengan tatapan kosong, tanpa belas kasihan. Mereka tahu segalanya. Mereka tahu bahwa aku terjebak. Terjebak di antara laut dan langit, tanpa arah pulang, tanpa harapan. Hanya ada kehampaan yang tak berujung. Ayah, apakah kau masih memandang bintang yang sama? Apakah kau tahu, anakmu kini telah menjadi karam di lautan yang tak bertepi ini? Aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Atau apakah akan berakhir sama sekali. Aku hanya tahu, setiap pagi, matahari terbit lagi, membawa serta siksaan yang sama. Dan setiap malam, aku kembali ke kegelapan yang abadi, memeluk erat bayanganmu yang kian pudar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberi masukan