oleh: Hari Untung Maulana
Aku, si Beruang Kumal, sudah melihat banyak hal. Terlalu banyak, mungkin, untuk sebuah boneka beruang berusia enam tahun. Lebih tepatnya, aku sudah enam tahun menjadi teman setia Maya, gadis kecilku yang tak pernah berhenti tersenyum. Usianya juga enam, sama sepertiku, tapi dunianya jauh lebih besar—dan jauh lebih berwarna—dari yang bisa dibayangkan siapa pun.
Kami tak punya rumah tembok yang kokoh. Istana kami adalah kolong jembatan yang sejuk di siang hari, atau teras ruko yang tertutup di malam hari. Tapi Maya tak pernah mengeluh. Baginya, setiap tempat baru adalah petualangan. "Beruang, lihat! Ini ranjang baru kita!" serunya riang, saat Ayah dan Ibu menggelar tikar tipis di atas tumpukan kardus bekas. Bagiku, itu hanya bau apek dan debu.
Tapi di mata Maya, itu adalah istana kardus yang bisa berubah bentuk sesuka hati.
Setiap pagi, saat matahari mulai mengintip dari balik gedung-gedung tinggi, kami akan bangun. Ayah dan Ibu akan mencari rezeki, kadang dengan mengamen, kadang dengan memulung. Maya selalu ikut, berlari kecil di samping mereka sambil memelukku erat. "Kita mau ke mana hari ini, Beruang?" tanyanya dengan mata berbinar. Seolah-olah setiap jalanan adalah taman hiburan pribadi kami.
Aku ingat sekali, suatu siang, saat kami sedang menikmati "makan siang mewah"—roti basi sisa dari tempat sampah—tiba-tiba datanglah rombongan berseragam cokelat muda. Satpol PP, begitu mereka menyebut diri. Ayah dan Ibu tampak cemas, tapi Maya? Ia justru kegirangan! "Lihat, Beruang! Kita mau naik mobil besar!" serunya sambil menunjuk truk bak terbuka yang kini terparkir di depan kami.
Aku terguncang-guncang di pelukannya saat kami dibawa ke kantor Dinas Sosial. Tempat itu penuh dengan anak-anak lain, bau sabun murah, dan kasur-kasur lipat. Ayah dan Ibu terus berbisik-bisik dengan wajah khawatir. Tapi Maya? Ia langsung berlari memelukku, "Ini rumah baru kita, Beruang! Banyak teman baru!" Ia sibuk bermain petak umpet dengan anak-anak lain, tertawa cekikikan seolah kami sedang berlibur di resor mewah. Baginya, itu adalah pesta besar yang tak terduga.
Beberapa waktu kemudian, kami berhasil "kabur" (atau lebih tepatnya, Ayah dan Ibu berhasil kabur dan membawa Maya ikut). Kembali ke jalanan. Maya bersorak. "Hore! Kita kembali ke petualangan!"
Petualangan itu kadang membawa tantangan. Suatu sore, saat Ayah baru saja mendapatkan sedikit uang dari mengamen, datanglah seorang pria bertato besar dengan wajah galak. Preman, begitu orang-orang menyebutnya. Pria itu merebut semua uang Ayah. Ayah dan Ibu hanya bisa menunduk pasrah. Aku bisa merasakan Ayah gemetar di dekat kami. Tapi Maya?
"Lihat, Beruang!" bisiknya sambil menarik lengan bajuku. "Om itu suka main rebut-rebutan! Seru sekali! Kapan kita bisa main seperti itu?" Ia terkikik geli, mengira itu semua adalah bagian dari permainan orang dewasa. Dunia ini sungguh penuh kejutan, pikirnya.
Namun, dunia yang penuh warna itu mulai kehilangan sedikit sinarnya. Ibu mulai sering batuk. Batuknya semakin parah, suaranya semakin pelan. Ayah mencoba mencari obat, tapi uang selalu tak ada. Suatu pagi, saat kami bangun di teras toko yang dingin, Ibu tak bergerak lagi. Wajahnya pucat, senyumnya hilang. Ayah menangis. Tangisannya begitu pilu, sampai aku ingin sekali menghibur Ayah, kalau saja aku bisa bicara.
Aku kira Maya akan sedih. Aku kira dunianya akan runtuh. Tapi tidak. Ia mendekat, memeluk Ibu, lalu mencium pipinya. "Ibu tidur, Ayah?" tanyanya polos. Ayah mengangguk, air matanya tak berhenti mengalir. "Ibu sangat lelah, Nak."
"Oh! Kalau begitu Ibu bisa istirahat yang lama!" seru Maya dengan riang. "Nanti kalau Ibu bangun, kita cerita petualangan seru kita lagi, ya Beruang!"
Ia tidak mengerti. Ia tidak tahu arti kematian. Baginya, Ibu hanya sedang beristirahat sangat, sangat panjang. Setelah Ayah menguburkan Ibu di tempat sepi dekat sungai, Maya masih memelukku erat, menatap Ayah dengan mata berbinar. "Ayah, sekarang kita cuma berdua! Lebih seru! Kita bisa berpetualang lebih jauh lagi!"
Ayah menatap Maya, lalu menatapku, si Beruang Kumal. Ada senyum tipis, pahit, tapi juga mengandung sedikit kekuatan, di bibir Ayah. Ia memeluk Maya erat-erat, seolah mencari sisa-sisa kebahagiaan yang masih memancar dari gadis kecil itu.
Dan kami, si Beruang Kumal dan Maya, terus berpetualang. Di setiap kolong jembatan, di setiap teras toko, di setiap sudut kota yang penuh debu dan keramaian. Maya akan selalu menemukan sesuatu untuk digembirakan. Sebuah kupu-kupu yang melintas, tetesan air hujan yang membentuk genangan untuk ia injak, atau sekadar selembar bungkus permen berwarna cerah. Baginya, dunia ini adalah taman bermain tanpa batas, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk tertawa.
Aku mungkin hanya sebuah boneka. Tapi aku melihat, aku merasa. Aku melihat keajaiban tawa di tengah kesunyian, kebahagiaan di tengah kepedihan. Dan aku tahu, selama Maya masih memelukku, selama ia masih tersenyum, dunia ini akan selalu dipenuhi warna-warna ceria, tak peduli betapa suramnya kenyataan yang mengelilingi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah memberi masukan