Senin, 24 November 2025

Gerbong Harapan di Ujung Malam

oleh: Hari Untung Maulana

Asap dari ujung sigaretnya menari tipis di udara malam yang lembap, lalu lenyap ditelan kegelapan. Marni membuang napas, lebih berat dari asap yang baru saja ia lepaskan. Bedak tebal di wajahnya terasa kaku, topeng yang mulai retak oleh peluh dan resah yang tak kunjung surut. Ia duduk di atas balok kayu lapuk, bersandar pada dinding dingin gerbong kereta yang telah lama mati. Tempat ini adalah dunianya setelah senja: sudut terpencil yang terpisah dari riuh jalan raya, di mana satu-satunya teman adalah gigitan nyamuk dan segumpal harapan yang kian menipis.

Satu jam. Dua jam. Puntung rokok kedua kini menyusul yang pertama, terinjak sekarat di atas tanah berbatu. Janji temu dengan seorang "tuan" yang ia kenal lewat perantara temannya terasa semakin hampa. "Orangnya baik, Marni. Kantongnya tebal," begitu kata temannya siang tadi. Harapan akan kantong tebal itulah yang membuatnya merias wajah lebih saksama, menyemprotkan parfum murah yang menyengat, dan mengabaikan sakit di ulu hatinya.

"Kapankah datang, tuan berkantong tebal?" bisiknya pada angin malam. Setiap deru motor yang mendekat membuat jantungnya berdebar, namun setiap kali pula suara itu menjauh, meninggalkan sunyi yang lebih menusuk.

Dalam diamnya, bayangan dua wajah mungil melintas. Bima, putranya yang berusia delapan tahun, dan Ayu, si bungsu yang baru lima tahun. Tadi sore, saat ia pamit pergi, Bima bertanya dengan mata polosnya, "Ibu kerja lagi? Besok Bima bisa makan pakai telur, Bu?"

Pertanyaan itu kini kembali, bergaung di kepalanya, menjadi jerit bimbang yang merobek ketenangannya. Apakah esok hari anak-anakku dapat makan? Getir saliva terasa memenuhi kerongkongannya. Ia menelan ludah, berusaha mengusir bayangan wajah lapar anak-anaknya. Tangan yang tadi menjepit rokok kini terkepal erat di pangkuan.

Habis sudah batang ketiga, namun tuan itu belum juga datang. Harapan kini berganti cemas, lalu pelan-pelan merayap menjadi putus asa. Di sudut tergelap hatinya, Marni merasa begitu kecil, begitu sendirian. Ia menengadahkan wajahnya ke langit pekat tanpa bintang. Tak ada siapa-siapa lagi yang bisa ia ajak bicara.

"Oh, Tuhan..." lirihnya, suara serak menahan isak. Doa itu mengalir begitu saja, bukan dari bibir yang bergincu merah pudar, melainkan dari jiwa yang lelah. "Beri setetes rezeki untuk malam ini saja. Hanya untuk besok pagi."

Ia tidak meminta kekayaan. Ia hanya memohon agar perut kedua malaikat kecilnya di rumah kontrakan sempit itu bisa terisi. "Beri terang jalan anak hamba, ya Tuhan. Jalan manapun yang harus kutempuh, asal mereka selamat."

Air mata akhirnya luruh, mengukir jejak di atas bedak tebalnya, menelanjangi semua kepalsuan yang ia kenakan. Ia tak lagi peduli pada riasan yang berantakan. Ia hanya seorang ibu yang ketakutan.

Di tengah isaknya yang tertahan, sebuah suara serak dan tua menyapanya.

"Neng, belum pulang?"

Marni tersentak. Seorang kakek tua, penjaga warung kelontong di ujung gang, berdiri tak jauh darinya sambil membawa tumpukan kardus. Pak Tua, begitu orang-orang memanggilnya. Wajahnya yang keriput menatap Marni dengan sorot yang sulit diartikan—bukan menghakimi, melainkan iba.

Marni cepat-cepat menyeka air matanya. "Belum, Pak. Sedang menunggu." Jawabannya terdengar lemah.

Pak Tua mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih. Ia meletakkan kardusnya, lalu berjalan mendekat dan menyodorkan sebuah bungkusan plastik. "Ini, Neng. Tadi ada sisa nasi sama ayam goreng dari warung. Buat anak-anak di rumah."

Marni terpaku. Ia menatap bungkusan di tangan Pak Tua, lalu beralih ke wajah renta itu. Ia ingin menolak, malu, namun kehangatan dari bungkusan itu seolah menjalar ke telapak tangannya, menawarkan jawaban yang tak pernah ia duga.

"Saya... saya tidak punya uang, Pak," ucapnya terbata.

Pak Tua tersenyum tipis. "Rezeki bukan cuma soal uang, Neng. Anggap saja ini rezeki anak-anakmu malam ini. Sudah, ambil saja. Bapak mau tutup warung."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pak Tua meletakkan bungkusan itu di samping Marni, lalu berbalik dan berjalan menjauh, menghilang di kelokan gang.

Marni memandangi bungkusan itu. Isaknya pecah, namun kali ini bukan karena keputusasaan. Di sudut gerbong yang tak terpakai, di tengah malam yang paling kelam, doanya dijawab. Bukan melalui tuan berkantong tebal yang tak kunjung datang, melainkan melalui sebungkus nasi hangat dari tangan seorang kakek tua.

Ia memeluk bungkusan itu erat-erat. Malam masih dingin, nyamuk masih berdengung, dan masa depan masihlah sebuah tanda tanya besar. Namun untuk malam ini, setetes rezeki itu telah tiba.

Dengan langkah yang terasa lebih ringan, Marni bangkit. Ia membuang sisa harapan palsunya bersama puntung rokok terakhir, dan berjalan pulang membawa jawaban nyata atas doanya. Di dalam hatinya, sebuah bisikan syukur menggema.

"Kabulkanlah, Tuhan."

Dan Tuhan telah mengabulkannya.

==============

terinspirasi dari lagu: DOA PENGOBRAL DOSA

Song and Lyric : IWAN FALS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah memberi masukan