Senin, 24 November 2025

Gerbong Harapan di Ujung Malam

oleh: Hari Untung Maulana

Asap dari ujung sigaretnya menari tipis di udara malam yang lembap, lalu lenyap ditelan kegelapan. Marni membuang napas, lebih berat dari asap yang baru saja ia lepaskan. Bedak tebal di wajahnya terasa kaku, topeng yang mulai retak oleh peluh dan resah yang tak kunjung surut. Ia duduk di atas balok kayu lapuk, bersandar pada dinding dingin gerbong kereta yang telah lama mati. Tempat ini adalah dunianya setelah senja: sudut terpencil yang terpisah dari riuh jalan raya, di mana satu-satunya teman adalah gigitan nyamuk dan segumpal harapan yang kian menipis.

Satu jam. Dua jam. Puntung rokok kedua kini menyusul yang pertama, terinjak sekarat di atas tanah berbatu. Janji temu dengan seorang "tuan" yang ia kenal lewat perantara temannya terasa semakin hampa. "Orangnya baik, Marni. Kantongnya tebal," begitu kata temannya siang tadi. Harapan akan kantong tebal itulah yang membuatnya merias wajah lebih saksama, menyemprotkan parfum murah yang menyengat, dan mengabaikan sakit di ulu hatinya.

"Kapankah datang, tuan berkantong tebal?" bisiknya pada angin malam. Setiap deru motor yang mendekat membuat jantungnya berdebar, namun setiap kali pula suara itu menjauh, meninggalkan sunyi yang lebih menusuk.

Dalam diamnya, bayangan dua wajah mungil melintas. Bima, putranya yang berusia delapan tahun, dan Ayu, si bungsu yang baru lima tahun. Tadi sore, saat ia pamit pergi, Bima bertanya dengan mata polosnya, "Ibu kerja lagi? Besok Bima bisa makan pakai telur, Bu?"

Pertanyaan itu kini kembali, bergaung di kepalanya, menjadi jerit bimbang yang merobek ketenangannya. Apakah esok hari anak-anakku dapat makan? Getir saliva terasa memenuhi kerongkongannya. Ia menelan ludah, berusaha mengusir bayangan wajah lapar anak-anaknya. Tangan yang tadi menjepit rokok kini terkepal erat di pangkuan.

Habis sudah batang ketiga, namun tuan itu belum juga datang. Harapan kini berganti cemas, lalu pelan-pelan merayap menjadi putus asa. Di sudut tergelap hatinya, Marni merasa begitu kecil, begitu sendirian. Ia menengadahkan wajahnya ke langit pekat tanpa bintang. Tak ada siapa-siapa lagi yang bisa ia ajak bicara.

"Oh, Tuhan..." lirihnya, suara serak menahan isak. Doa itu mengalir begitu saja, bukan dari bibir yang bergincu merah pudar, melainkan dari jiwa yang lelah. "Beri setetes rezeki untuk malam ini saja. Hanya untuk besok pagi."

Ia tidak meminta kekayaan. Ia hanya memohon agar perut kedua malaikat kecilnya di rumah kontrakan sempit itu bisa terisi. "Beri terang jalan anak hamba, ya Tuhan. Jalan manapun yang harus kutempuh, asal mereka selamat."

Air mata akhirnya luruh, mengukir jejak di atas bedak tebalnya, menelanjangi semua kepalsuan yang ia kenakan. Ia tak lagi peduli pada riasan yang berantakan. Ia hanya seorang ibu yang ketakutan.

Di tengah isaknya yang tertahan, sebuah suara serak dan tua menyapanya.

"Neng, belum pulang?"

Marni tersentak. Seorang kakek tua, penjaga warung kelontong di ujung gang, berdiri tak jauh darinya sambil membawa tumpukan kardus. Pak Tua, begitu orang-orang memanggilnya. Wajahnya yang keriput menatap Marni dengan sorot yang sulit diartikan—bukan menghakimi, melainkan iba.

Marni cepat-cepat menyeka air matanya. "Belum, Pak. Sedang menunggu." Jawabannya terdengar lemah.

Pak Tua mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih. Ia meletakkan kardusnya, lalu berjalan mendekat dan menyodorkan sebuah bungkusan plastik. "Ini, Neng. Tadi ada sisa nasi sama ayam goreng dari warung. Buat anak-anak di rumah."

Marni terpaku. Ia menatap bungkusan di tangan Pak Tua, lalu beralih ke wajah renta itu. Ia ingin menolak, malu, namun kehangatan dari bungkusan itu seolah menjalar ke telapak tangannya, menawarkan jawaban yang tak pernah ia duga.

"Saya... saya tidak punya uang, Pak," ucapnya terbata.

Pak Tua tersenyum tipis. "Rezeki bukan cuma soal uang, Neng. Anggap saja ini rezeki anak-anakmu malam ini. Sudah, ambil saja. Bapak mau tutup warung."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pak Tua meletakkan bungkusan itu di samping Marni, lalu berbalik dan berjalan menjauh, menghilang di kelokan gang.

Marni memandangi bungkusan itu. Isaknya pecah, namun kali ini bukan karena keputusasaan. Di sudut gerbong yang tak terpakai, di tengah malam yang paling kelam, doanya dijawab. Bukan melalui tuan berkantong tebal yang tak kunjung datang, melainkan melalui sebungkus nasi hangat dari tangan seorang kakek tua.

Ia memeluk bungkusan itu erat-erat. Malam masih dingin, nyamuk masih berdengung, dan masa depan masihlah sebuah tanda tanya besar. Namun untuk malam ini, setetes rezeki itu telah tiba.

Dengan langkah yang terasa lebih ringan, Marni bangkit. Ia membuang sisa harapan palsunya bersama puntung rokok terakhir, dan berjalan pulang membawa jawaban nyata atas doanya. Di dalam hatinya, sebuah bisikan syukur menggema.

"Kabulkanlah, Tuhan."

Dan Tuhan telah mengabulkannya.

==============

terinspirasi dari lagu: DOA PENGOBRAL DOSA

Song and Lyric : IWAN FALS

Umpan Terakhir di Bawah Jembatan

oleh: Hari Untung Maulana

Deru kendaraan di atas jembatan terdengar seperti geraman raksasa yang tak pernah tidur. Di bawahnya, di kolong yang remang dan berbau tanah basah, Leo melangkah dengan hati-hati. Kakinya terperosok di lumpur dangkal, tapi ia tak peduli. Di genggaman tangannya yang berkeringat, sebuah botol kecil berwarna cokelat terasa berat, jauh lebih berat dari isinya. Ini adalah akhir dari segalanya. Tempat ini sempurna: tersembunyi, terlupakan, sama seperti dirinya.

Ia mencari sudut yang paling gelap untuk menuntaskan urusannya, ketika matanya menangkap sebuah siluet. Di tepi sungai yang mengalir lesu, seorang lelaki tua duduk di atas bangku lipat reyot. Sebuah joran pancing terpasang di depannya, ujungnya menukik ke air yang keruh.

Leo mengumpat dalam hati. Dari sekian banyak kolong jembatan di kota ini, kenapa harus ada orang di sini? Kenapa harus ada saksi untuk keputusasaannya?

"Sedang apa, Pak?" tanya Leo, suaranya lebih ketus dari yang ia niatkan.

Lelaki tua itu menoleh perlahan. Wajahnya berkerut, matanya teduh. Ia tidak tampak terkejut. "Mancing, Nak. Mau coba peruntungan."

"Dapat?"

Lelaki tua itu tersenyum tipis. "Belum. Tapi di situlah seninya. Menunggu."

Leo mendengus. Menunggu. Ia sudah lelah menunggu. Menunggu keajaiban, menunggu utang lunas, menunggu hidup membaik. Tak ada yang datang. Yang tersisa hanya botol kecil di tangannya. Ia duduk beberapa meter dari si pemancing, sengaja membelakanginya. Getar di tangannya semakin menjadi.

"Airnya tenang hari ini," kata si pemancing lagi, memecah keheningan yang canggung. "Biasanya kalau tenang begini, ikan gabus suka keluar."

"Saya tidak peduli ikan," sahut Leo tajam.

"Tentu saja," jawab lelaki tua itu dengan sabar. "Anak muda sepertimu pasti punya urusan yang lebih penting dari ikan."

Leo terdiam. Urusan penting. Ya, urusan untuk mengakhiri semua urusan. Ia membuka tutup botol itu. Bau kimia yang menyengat langsung menusuk hidungnya, membuatnya sedikit mual.

"Tapi kadang," suara si pemancing kembali terdengar, "urusan serumit apa pun, kalau kita diam sejenak dan melihat air, semuanya terasa lebih ringan. Air ini membawa semuanya ke laut. Sampah, daun kering, bahkan mungkin masalah kita."

Leo berhenti. Tangannya yang sudah siap mengangkat botol ke bibir tertahan di udara. Ia melirik lelaki tua itu. "Bapak tidak tahu apa-apa tentang masalah saya."

"Benar. Bapak tidak tahu," aku lelaki itu. "Bapak hanya tahu, seekor ikan sekecil apa pun akan berjuang sekuat tenaga saat kail menyangkut di mulutnya. Ia meronta, melawan, tidak mau menyerah begitu saja. Padahal ia hanya seekor ikan."

Ada sesuatu dalam nada bicara lelaki tua itu—bukan menghakimi, bukan menasihati, hanya sebuah pengamatan sederhana—yang menembus dinding pertahanan Leo. Ia perlahan menurunkan botol itu dan meletakkannya di tanah.

"Untuk apa berjuang kalau pada akhirnya tetap kalah?" desis Leo, lebih pada dirinya sendiri.

Si pemancing menggulung sedikit senarnya. "Siapa yang tahu soal kalah dan menang, Nak? Tugas kita kan hanya berjuang. Soal hasil, itu urusan yang di Atas." Ia menunjuk langit dengan dagunya, yang tak terlihat dari kolong jembatan itu.

Hening kembali menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh suara air dan deru lalu lintas di atas. Lelaki tua itu membuka termosnya dan menuangkan kopi ke dalam cangkir plastik.

"Mau?" tawarnya.

Leo ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia bergeser mendekat dan menerima cangkir kopi panas itu. Kehangatannya menjalar ke telapak tangannya yang dingin. Mereka duduk berdampingan dalam diam, memandangi ujung joran yang tak bergerak. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Leo merasakan sebuah ketenangan. Mungkin lelaki tua ini benar. Mungkin masih ada harapan. Mungkin ia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama.

Pikiran untuk membatalkan niatnya mulai bersemi. Ia bisa membuang botol itu ke sungai, pulang, dan mencoba lagi esok hari.

Tiba-tiba, joran si pemancing bergetar hebat. Ujungnya melengkung tajam. "Wah, dapat!" serunya dengan binar di mata tuanya.

Ia berdiri dan menarik jorannya dengan sigap. Pertarungan singkat terjadi. Air beriak kencang, lalu seekor ikan gabus yang lumayan besar berhasil diangkat ke darat. Ikan itu menggelepar hebat di tanah berlumpur, sisiknya yang gelap berkilat di cahaya remang. Mulutnya membuka dan menutup, insangnya bergerak cepat, berjuang untuk setiap tarikan napas.

Lelaki tua itu tersenyum puas. Ia mengambil ikan itu, melepaskan kail dari mulutnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam keranjang anyaman yang sudah terisi beberapa ikan lain yang lebih kecil.

Leo menyaksikan semua itu dengan napas tertahan. Ia melihat ikan-ikan di dalam keranjang itu. Mereka tidak lagi meronta. Mereka hanya terdiam pasrah, bertumpukan satu sama lain, menunggu ajal. Mereka telah berjuang sekuat tenaga, dan pada akhirnya inilah takdir mereka: masuk ke dalam keranjang, lalu ke dalam wajan penggorengan.

Perjuangan mereka sia-sia.

Kilat pemahaman yang dingin dan mengerikan menyambar pikiran Leo. Harapan yang baru saja mekar di hatinya layu seketika. Ia adalah ikan itu. Ia sudah berjuang, meronta, dan melawan sekuat yang ia bisa. Dan kini ia sudah sampai di ujungnya. Di dalam keranjang takdirnya.

Si pemancing masih sibuk membereskan alatnya, wajahnya berseri-seri karena tangkapan besarnya. Ia tidak menyadari perubahan di wajah Leo.

"Terima kasih kopinya, Pak," ucap Leo dengan suara yang anehnya terdengar tenang.

"Sama-sama, Nak. Ingat..."

Sebelum lelaki tua itu menyelesaikan kalimatnya, Leo dengan satu gerakan cepat meraih botol cokelat di sampingnya. Tanpa ragu sedikit pun, ia menenggak seluruh isinya hingga tetes terakhir.

Lelaki tua itu terperanjat, matanya membelalak ngeri. "Nak! Apa yang kau lakukan?!"

Leo tersenyum getir, cairan racun itu sudah membakar kerongkongannya. Ia menunjuk keranjang ikan dengan sisa tenaganya.

"Pada akhirnya... semua perjuangan... ada batasnya, Pak," desisnya, sebelum tubuhnya kejang dan ambruk ke tanah yang basah.

Si pemancing hanya bisa terpaku. Di hadapannya, tergeletak tubuh seorang anak muda yang telah kalah. Di sampingnya, sebuah keranjang berisi ikan-ikan yang juga telah kalah. Di atas kepalanya, deru kendaraan terus meraung, tak peduli pada satu lagi perjuangan yang baru saja berakhir di kolong jembatan. Joran pancingnya teronggok diam, umpannya sudah habis.

----

Lautan Sunyi, Dermaga Usang

oleh: Hari Untung Maulana

Ayah

Dermaga itu menua bersamaku. Tiang-tiangnya keropos, kayunya menghitam di makan waktu dan air asin. Setiap senja, aku duduk di bangku reyot ini, memandang ke cakrawala yang selalu menelan matahari dengan janji palsu esok. Tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun sejak kau pergi, Nak. Rambutku memutih, punggungku membungkuk, dan mataku yang dulu tajam kini hanya mampu menangkap bayangan kerinduan. Kau anak tunggalku, satu-satunya permata yang kutempa dengan peluh dan doa. Ingatkah kau, dulu kau selalu berlari menyambutku pulang dari laut, tangan kecilmu menggenggam erat jariku yang kasar? Kau bilang, "Ayah, aku ingin berlayar lebih jauh dari Ayah!" Dan kau benar. Kau berlayar, jauh sekali. Terlalu jauh.

Botol arak ini adalah teman setiamu kini, jantungku. Isinya panas, tapi tak mampu menghangatkan dinginnya hatiku yang membeku. Orang-orang bilang kau sukses di negeri seberang, Nak. Mereka bilang kau sudah lupa pada ayah tua ini, pada gubuk reyot ini, pada dermaga yang selalu menunggumu. Aku tak percaya. Aku tak mau percaya. Seorang anak yang kutimang dengan segala kasih sayang, tak mungkin sekejam itu. Pasti ada alasannya, Nak. Pasti. Tapi alasan apa yang mampu menjelaskan keheningan yang memekakkan ini? Setiap kapal yang merapat, setiap wajah pelaut yang turun, selalu kuharap itu wajahmu. Selalu. Dan setiap kali pula, aku pulang dengan hampa, membawa serta kecewa yang mengoyak-ngoyak sisa hidupku. Apakah kau masih mengingat bau laut ini? Bau yang membesarkanmu, bau yang kini hanya menyisakan aroma pilu.

Anak

Garam. Bau amis. Peluh. Itu saja yang ada. Di lambung kapal yang berkarat, di tengah lautan yang tak bertepi, aku adalah budak. Namaku tak lagi penting. Aku adalah 'dia'. 'Dia' yang harus menarik jaring hingga tangan melepuh, 'dia' yang harus bekerja tanpa henti di bawah cambuk dan makian, 'dia' yang harus makan sisa-sisa busuk agar tetap hidup. Dua puluh tahun. Dua puluh tahun sejak kaki ini menginjak tanah asing yang dijanjikan sebagai surga. Surga pekerjaan, surga uang. Tapi yang kudapatkan adalah neraka.

Malam ini, badai kembali datang. Ombak menjulang setinggi rumah, memecah lambung kapal seolah ingin menelannya bulat-bulat. Aku terikat pada tiang, mencoba bertahan agar tidak terlempar ke air yang siap menelan. Dingin menembus tulang, perih mengoyak kulit. Aku ingat Ayah. Wajahnya yang keriput, tangannya yang kasar tapi selalu lembut membelai rambutku. Ayah, maafkan aku. Aku berjanji akan menjemputmu, Ayah. Aku berjanji akan mengirimimu uang agar kau tak perlu lagi memancing di dermaga tua itu. Tapi janji itu kini hanya hantu, bergentayangan di antara gelombang yang mengganas.

Setiap kali jaring ditarik, setiap kali ikan-ikan perak berloncatan, aku melihat wajah Ayah di pantulan air. Ayah yang selalu bangga padaku, Ayah yang menaruh semua harapannya padaku. Harapan itu kini tenggelam, seiring dengan matahari yang tak pernah kulihat terbit dari tempat yang sama. Di sini, matahari hanya muncul untuk menyiksa, lalu menghilang tanpa jejak, meninggalkan kegelapan yang abadi. Bagaimana aku bisa kembali, Ayah? Bagaimana aku bisa menunjukkan wajah yang sudah hancur ini, jiwa yang sudah remuk ini? Mereka bilang aku sudah mati. Dan kadang, aku berharap itu benar.

Ayah

Kadang, aku melihat bayanganmu di antara ilalang yang bergoyang. Rambutmu yang dulu ikal, tawamu yang renyah, cara kau menatap laut dengan mata penuh cita-cita. Aku merangkak, mendekat, memanggil namamu. "Nak! Pulanglah, Nak!" Tapi ilalang itu hanya bergoyang, menertawakan kebodohanku. Kau bukan di sana. Kau jauh. Atau mungkin, kau memang tak pernah ada lagi. Aku hanya berpegangan pada kenangan, pada potongan-potongan suara dan tawa yang sudah pudar.

Tetangga sebelah, Mang Ujang, meninggal kemarin. Meninggal dengan senyum karena anak-anaknya semua ada di sampingnya. Aku iri. Iri sampai rasanya ingin menangis darah. Aku ingin merasakan sentuhan tanganmu lagi, Nak. Ingin kudengar suaramu memanggil "Ayah". Sekali saja. Sebelum mataku tertutup untuk selamanya. Tapi hanya dingin yang kurasakan. Dinginnya bangku dermaga, dinginnya cangkir arak, dinginnya harapan yang tak kunjung bersemi. Aku tak tahu harus percaya apa lagi. Semua orang bilang kau bahagia, tapi mengapa hatiku terus meratap? Mengapa setiap malam, aku mendengar suara isak tangis dari balik pintu yang terkunci, yang aku tahu itu adalah suaraku sendiri?

Anak

Tubuhku membiru. Tangan ini bengkak, kuku-kuku hitam karena lumpur dan darah ikan. Kapal ini bagaikan penjara terapung. Tidak ada batas, tidak ada tembok, tapi aku tak bisa ke mana-mana. Lautan adalah temboknya, penjaga-penjaganya adalah iblis berwajah manusia. Mereka menertawakan penderitaanku, menganggapku tak lebih dari seonggok daging yang bisa mereka peras tenaganya.

Aku pernah mencoba lari. Terjun ke laut saat penjaga lengah. Tapi air terlalu dingin, arusnya terlalu kuat. Aku ditarik kembali. Dipukuli. Disiksa sampai aku tak bisa merasakan apa-apa lagi selain perih. Setelah itu, aku tak pernah mencoba lagi. Aku hanya bekerja. Bekerja sampai aku lupa siapa aku, lupa di mana aku. Kadang, aku melihat perahu-perahu kecil melintas jauh di cakrawala. Perahu nelayan, seperti milik Ayah dulu. Aku ingin berteriak, ingin memohon bantuan. Tapi suaraku tercekat. Atau mungkin, mereka tidak akan mendengar. Siapa yang akan mendengar tangisan hantu di tengah lautan luas?

Aku melihat bintang-bintang. Jutaan bintang yang dulu selalu kutatap bersama Ayah di teras rumah. Bintang-bintang itu sama, tapi kini mereka tampak asing. Dingin. Mereka seolah menatapku dengan tatapan kosong, tanpa belas kasihan. Mereka tahu segalanya. Mereka tahu bahwa aku terjebak. Terjebak di antara laut dan langit, tanpa arah pulang, tanpa harapan. Hanya ada kehampaan yang tak berujung. Ayah, apakah kau masih memandang bintang yang sama? Apakah kau tahu, anakmu kini telah menjadi karam di lautan yang tak bertepi ini? Aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Atau apakah akan berakhir sama sekali. Aku hanya tahu, setiap pagi, matahari terbit lagi, membawa serta siksaan yang sama. Dan setiap malam, aku kembali ke kegelapan yang abadi, memeluk erat bayanganmu yang kian pudar.

***

Pelukan Beruang di Dunia Penuh Warna

oleh: Hari Untung Maulana

Aku, si Beruang Kumal, sudah melihat banyak hal. Terlalu banyak, mungkin, untuk sebuah boneka beruang berusia enam tahun. Lebih tepatnya, aku sudah enam tahun menjadi teman setia Maya, gadis kecilku yang tak pernah berhenti tersenyum. Usianya juga enam, sama sepertiku, tapi dunianya jauh lebih besar—dan jauh lebih berwarna—dari yang bisa dibayangkan siapa pun.

Kami tak punya rumah tembok yang kokoh. Istana kami adalah kolong jembatan yang sejuk di siang hari, atau teras ruko yang tertutup di malam hari. Tapi Maya tak pernah mengeluh. Baginya, setiap tempat baru adalah petualangan. "Beruang, lihat! Ini ranjang baru kita!" serunya riang, saat Ayah dan Ibu menggelar tikar tipis di atas tumpukan kardus bekas. Bagiku, itu hanya bau apek dan debu. 

Tapi di mata Maya, itu adalah istana kardus yang bisa berubah bentuk sesuka hati.

Setiap pagi, saat matahari mulai mengintip dari balik gedung-gedung tinggi, kami akan bangun. Ayah dan Ibu akan mencari rezeki, kadang dengan mengamen, kadang dengan memulung. Maya selalu ikut, berlari kecil di samping mereka sambil memelukku erat. "Kita mau ke mana hari ini, Beruang?" tanyanya dengan mata berbinar. Seolah-olah setiap jalanan adalah taman hiburan pribadi kami.

Aku ingat sekali, suatu siang, saat kami sedang menikmati "makan siang mewah"—roti basi sisa dari tempat sampah—tiba-tiba datanglah rombongan berseragam cokelat muda. Satpol PP, begitu mereka menyebut diri. Ayah dan Ibu tampak cemas, tapi Maya? Ia justru kegirangan! "Lihat, Beruang! Kita mau naik mobil besar!" serunya sambil menunjuk truk bak terbuka yang kini terparkir di depan kami.

Aku terguncang-guncang di pelukannya saat kami dibawa ke kantor Dinas Sosial. Tempat itu penuh dengan anak-anak lain, bau sabun murah, dan kasur-kasur lipat. Ayah dan Ibu terus berbisik-bisik dengan wajah khawatir. Tapi Maya? Ia langsung berlari memelukku, "Ini rumah baru kita, Beruang! Banyak teman baru!" Ia sibuk bermain petak umpet dengan anak-anak lain, tertawa cekikikan seolah kami sedang berlibur di resor mewah. Baginya, itu adalah pesta besar yang tak terduga.

Beberapa waktu kemudian, kami berhasil "kabur" (atau lebih tepatnya, Ayah dan Ibu berhasil kabur dan membawa Maya ikut). Kembali ke jalanan. Maya bersorak. "Hore! Kita kembali ke petualangan!"

Petualangan itu kadang membawa tantangan. Suatu sore, saat Ayah baru saja mendapatkan sedikit uang dari mengamen, datanglah seorang pria bertato besar dengan wajah galak. Preman, begitu orang-orang menyebutnya. Pria itu merebut semua uang Ayah. Ayah dan Ibu hanya bisa menunduk pasrah. Aku bisa merasakan Ayah gemetar di dekat kami. Tapi Maya?

"Lihat, Beruang!" bisiknya sambil menarik lengan bajuku. "Om itu suka main rebut-rebutan! Seru sekali! Kapan kita bisa main seperti itu?" Ia terkikik geli, mengira itu semua adalah bagian dari permainan orang dewasa. Dunia ini sungguh penuh kejutan, pikirnya.

Namun, dunia yang penuh warna itu mulai kehilangan sedikit sinarnya. Ibu mulai sering batuk. Batuknya semakin parah, suaranya semakin pelan. Ayah mencoba mencari obat, tapi uang selalu tak ada. Suatu pagi, saat kami bangun di teras toko yang dingin, Ibu tak bergerak lagi. Wajahnya pucat, senyumnya hilang. Ayah menangis. Tangisannya begitu pilu, sampai aku ingin sekali menghibur Ayah, kalau saja aku bisa bicara.

Aku kira Maya akan sedih. Aku kira dunianya akan runtuh. Tapi tidak. Ia mendekat, memeluk Ibu, lalu mencium pipinya. "Ibu tidur, Ayah?" tanyanya polos. Ayah mengangguk, air matanya tak berhenti mengalir. "Ibu sangat lelah, Nak."

"Oh! Kalau begitu Ibu bisa istirahat yang lama!" seru Maya dengan riang. "Nanti kalau Ibu bangun, kita cerita petualangan seru kita lagi, ya Beruang!"

Ia tidak mengerti. Ia tidak tahu arti kematian. Baginya, Ibu hanya sedang beristirahat sangat, sangat panjang. Setelah Ayah menguburkan Ibu di tempat sepi dekat sungai, Maya masih memelukku erat, menatap Ayah dengan mata berbinar. "Ayah, sekarang kita cuma berdua! Lebih seru! Kita bisa berpetualang lebih jauh lagi!"

Ayah menatap Maya, lalu menatapku, si Beruang Kumal. Ada senyum tipis, pahit, tapi juga mengandung sedikit kekuatan, di bibir Ayah. Ia memeluk Maya erat-erat, seolah mencari sisa-sisa kebahagiaan yang masih memancar dari gadis kecil itu.

Dan kami, si Beruang Kumal dan Maya, terus berpetualang. Di setiap kolong jembatan, di setiap teras toko, di setiap sudut kota yang penuh debu dan keramaian. Maya akan selalu menemukan sesuatu untuk digembirakan. Sebuah kupu-kupu yang melintas, tetesan air hujan yang membentuk genangan untuk ia injak, atau sekadar selembar bungkus permen berwarna cerah. Baginya, dunia ini adalah taman bermain tanpa batas, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk tertawa.

Aku mungkin hanya sebuah boneka. Tapi aku melihat, aku merasa. Aku melihat keajaiban tawa di tengah kesunyian, kebahagiaan di tengah kepedihan. Dan aku tahu, selama Maya masih memelukku, selama ia masih tersenyum, dunia ini akan selalu dipenuhi warna-warna ceria, tak peduli betapa suramnya kenyataan yang mengelilingi kami.